Maraknya Kekerasan Pada Anak Dimasa Pandemi Covid-19

MARAKNYA KEKERASAN PADA ANAK DIMASA PANDEMI COVID-19

Oleh : Fitri Amalia*

 

Kekerasan pada anak bukan  merupakan permasalahan yang baru. Permasalahan kekerasan pada anak sangat sering terjadi bahkan di masa pandemi covid-19 ini. Kekerasan terhadap anak adalah tindakan kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Tujuannya adalah tak lain untuk melukai, merusak, dan merugikan anak. Dalam masa pandemi covid-19, tingkat kekerasan pada anak sangat meningkat. Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir setahun lebih ini  mengubah situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia. Perhatian khusus untuk melindungi anak-anak dari berbagai kekerasan, termasuk kejahatan daring, kian mendesak. Yang biasanya anak belajar disekolah dengan tatap muka,dimana guru yang mengajari,mendampingi,mengewasi, kini kegiatan belajar mengajar dilakukan dari rumah masing-masing secara daring. Orang tua berperan penting untuk mendampingi, mengawasi, bahkan menjadi guru anaknya untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Pola asuh ini menjadi hal yang baru bagi orang tua. Sayangnya, tak sedikit orang tua yang belum terbiasa melakukan aktivitas ini menjadi tersulut emosi sehingga terjadilah kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang tua. Ditambah orang tua yang harus sambil bekerja dan juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Tentunya hal ini membuat emosi orang tua menjadi sering tidak terkontrol yang menjadikan anak sebagai bahan pelampiasan amarahnya.

Penyebab kekerasan pada anak dimasa pandemi ini bermacam-macam, yang menjadi masalah utama orangtua melakukan kekerasan pada anak adalah bisa jadi  karena faktor ekonomi, perubahan rutinitas di rumah, perubahan drastis yang terjadi pada rutinitas sehari-hari ini tidak jarang menyebabkan keluarga mengalami konflik antaranggota keluarganya akibat timbulnya rasa bosan, jenuh yang dialami para orangtua, rendahnya pengetahuan pengasuhan anak, rendahnya pengetahuan akan strategi pengasuhan tanpa kekerasan fisik dan kebiasaan memberlakukan hukuman fisik terhadap anak dinilai sebagai faktor eksternal yang bertanggungjawab atas munculnya tindak kekerasan lebih serius terhadap anak. Orangtua mempunyai kekuasaan yang lebih atas apa yang terjadi dalam keluarga, Inilah yang menyebabkan anak menjadi sasaran bagi orang tua ketika mereka sedang marah, stres, atau kecewa.

Akibat banyaknya kasus kekerasan terhadap anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei tentang pola asuh ibu selama pandemi COVID-19. Hasil yang mengejutkan bahwa pola asuh tersebut ada kaitannya dengan kekerasan pada anak baik secara fisik dan psikis. Survei dilakukan secara terpisah antara orang tua perempuan dan orang tua laki-laki. Hasil survei menunjukkan bahwa orang tua laki-laki sebesar 25,6 persen, sedangkan orang tua perempuan sebesar 74,4 persen. Berdasarkan survei KPAI, bentuk kekerasan pada anak secara fisik ada berbagai macam. Seperti menarik, memukul, mencubit, dan menjewer. Ada 42,5 persen ibu yang melakukan, sedangkan sisanya sebanyak 32,3 persen dilakukan oleh ayah. Sementara kekerasan psikis seperti dibentak, dibandingkan dengan anak yang lain, dimarahi, dan dipelototi tak luput terjadi pada anak. Sebanyak 73 persen ibu melakukan kekerasan psikis, dan sisanya 69,6 persen dilakukan oleh ayah.

Selain itu, data yang dihimpun dari sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) dari tanggal 1 Januari 2020 sampai 23 September 2020 menunjukkan bahwa Kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) di Indonesia sebanyak 5.697 kasus dengan 6.315 korban.

Sehubungan dengan Pengegakkan hukum, upaya perlindungan terhadap anak merupakan posisi penting didalam hukum Indonesia. Dimana  Hukum di Indonesia mengatur mengenai kekerasan terhadap anak yang  diatur  dalam Undang-Uundang 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Menurut penjelasan umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di jelaskan bahwa: Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi PBB Tahun 1948 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB tahun 1959 tentang Hak-hak Anak , dan Konvensi PBB tahun 1989 Hak-Hak Anak. Dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan bahwa :

“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindunganperlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.

Baca Juga  Ratusan Dai Se-Indonesia Hadiri Silaturahim Nasional (SILATNAS) 2018 di Padang Sumatera Barat

Contoh kasus mengenai kekerasan pada anak yang terjadi di Lebak, Banten. LH, seorang warga Desa Cipalabuh, Kabupaten Lebak, Banten, menganiaya putrinya KS, yang baru berusia 8 tahun, hingga tewas pada akhir bulan Agustus lalu. Perempuan berusia 26 tahun ini dilaporkan melakukan penganiayaan karena kesal anaknya susah diajari saat belajar online. Rangkaian penganiayaan yang dilakukan LH adalah mencubit, memukul dengan tangan kosong hingga menggunakan gagang sapu. LH juga memukul korban yang duduk di bangku sekolah dasar kelas 1 itu di bagian belakang kepala sebanyak tiga kali di saat anak itu sudah tersungkur lemas di lantai. Suami LH, IS (27), sempat memarahi istrinya begitu menyaksikan penganiayaan tersebut. Namun, hal itu sudah terlambat. Korban yang tidak kuat menahan penganiayaan dari ibu kandungnya harus meregang nyawa saat itu juga. Keduanya kemudian sepakat membawa kabur jenazah korban dan menguburkannya di makan TPU Gunung Kendeng, Kecamatan Cijaku, Lebak, sebagai upaya menghilangkan jejak. Korban dikubur dengan pakaian lengkap. Kejahatan itu kemudian terbongkar dua minggu setelahnya menyusul kecurigaan dari warga sekitar melihat gundukan tanah yang masih baru di TPU tersebut. Warga merasa curiga lantaran tidak ada orang yang meninggal dan dimakamkan di TPU Gunung Kendeng dalam beberapa pekan terakhir. Polisi kemudian bergerak cepat dan menangkap kedua pelaku di Jakarta.
Dari kasus diatas,bisa dilihat seorang ibu yang tega menganiaya anak kandungnya sendiri dengan tangan kosong karena kesal anaknya susah untuk diajari saat belajar online,maka dasar hukuman yang dapat dikenakan kepada tersangka adalah: UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 76D

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 81

  1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  1. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
  2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dengan adanya hukuman tersebut,bisa menjadi acuan untuk orangtua agar sabar dalam mendidik anak-anaknya. Anak adalah amanah yang harus dijaga bagi setiap orangtua,betapa banyak orangtua yang mendambakan kehadiran seorang anak, namun Allah Swt belum memberikan kepercayaan. Anaka adalah generasi penerus bangsa, agar kelak anak memikul tanggung jawab, maka seorang anak perlu leluasa untuk tumbuh dan berkembang yang baik, fisik, mental ataupun sosial dan berakhlak mulia. Mendidik harus dengan contoh dari orangtua, karena orangtua adalah peran utama anak,dimana anak harus mendapat perlindungan, meberikan jaminan dan pemenuhan terhadap hak-hak anak tanpa harus kekerasan ataupun diskriminasi.

Ada beberapa upaya agar dapat mengurangi kekerasan pada anak yang menyebabkan hilangnya nyawa anak, antara lain: 1. Orang tua perlu meluangkan waktu untuk berkumpul dan berkomunikasi dengan anak. Karena dengan begitu anak akan merasa aman, nyaman dan lebih terbuka dengan orang tua. Ketika komunikasi dengan anak gunakanlah bahasa yang bisa membuat anak tenang bukan takut, dengan nada yang lembut, ketika anak belum mengerti dengan pelajaran, ajari terus anak tanpa adanya kekerasan. 2. Tahan amarah, meskipun pada praktiknya susah,cobalah ketika amarah itu mulai memuncak, pergilah untuk menenangkan diri, ketika sudah tenang ajari anak kembali. 3. meningkatkan pengetahuan orang tua dalam hal pengasuhan anak. 4. Menjadikan Rasulullah teladan bagi setiap orangtua dalam mendidik anak, dengan memperdalam ilmu agama, banyak membaca sejarah islam, dll. Bukan hanya peran keluarga saja, tapi peran masyarakat juga sangat berpengaruh dalam memgurangi kasus kekerasan, yaitu salah satunya dengan membangun gerakan perlindungan anak, jika nanti ada masyarakat melihat orangtua melakukan kekerasan, dapat segera di respon atau dicegah, dan dapat melaporkan tersangka kepada pihak yang berwajib.***

 

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang