Oleh: Rosyana Novitasari *
Dua tahun yang lalu, tepatnya 2015, kota muda bernama: Tangerang Selatan dalam usianya yang ke-7 tahun sudah mampu meraih penghargaan sebagai Kota layak anak (KLA) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi di Istana Presiden (Bogor) atas kontribusinya terhadap usaha perlindungan anak.
KLA merupakan penghargaan yang diberikan kepada 3 tingkat, salah satunya kabupaten / kota yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak. Tak heran, jika Kota Tangerang Selatan pada tahun 2017 mampu mendulang prestasi kembali dan memperoleh penghargaan Sindo Weekly Government Award 2017 dari majalah Sindo Weekly karena dinilai sebagai kota layak anak dan perempuan terbaik.
Peran pemerintah, khususnya Walikota Tangerang Selatan pun sangat penting, terlebih Walikota Tangerang Selatan telah mendapatkan penghargaan Prahita Eka Praya (APE) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2014. Sudah sepantasnya, jika Kota Tangerang Selatan dengan predikat kota layak anaknya mampu berikan kenyamanan tumbuh kembang anak, maupun sarana dan prasarana pengembangan potensi yang layak bagi anak.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011, tentang kebijakan pengembangan kabupaten / kota layak anak. Berbunyi, bahwa anggaran pelaksanaan pengembangan kota layak anak tingkat kabupaten / kota dibebankan kepada APBD. Maka, sudah sewajarnya jika hak anak (Permeneg No. 11 Tahun 2011, pasal 6) seperti hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya serta perlindungan khusus tersebut harus terpenuhi, supaya anggaran yang dikeluarkan pada dari APBD tidak terbuang sia-sia tanpa mampu membenahi tatanan sarana / prasarana guna memenuhi hak anak.
Terpilihnya Kota Tangerang Selatan dalam penilaian Kota Layak Anak (KLA) perlu kita cermati, bahwasannya terdapat 31 indikator Kota Layak Anak menurut hasil Konferensi Internasional tentang Kota Layak Anak se-Asia Pasifik, diluar 10 indikator utama seperti: akses pendidikan, kesehatan, perlindungan eksploitasi zat adiktif, akses infrastruktur, teknologi komunikasi dan hak rekreasi, menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirari) pun harus dijadikan tolak ukur atas keberlangsungan hak anak.
Di sisi lain, keberadaan Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak yang selalu digaung-gaungkan oleh Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, yang telah mendapat rekor muri pada tahun 2013, kabarnya memiliki 108 petugas dan 540 relawan di tingkat Rw, tidak lagi terdengar gerakan maupun program yang tengah dijalankan dan program tersebut seolah mati suri, menurut data yang ada dari berbagai sumber, jumlah trend kekerasan terhadap anak dan perempuan justru menunjukan peningkatan setiap tahunnya, dari data yang kami himpun, tercatat bahwa dari tahun 2013 s.d. 2016 tercatat ada 167 kasus kekerasan seksual.
Ironisnya, seiring berjalannya waktu, rentetan penghargaan terkait anak diraih oleh Kota Tangerang Selatan. Mencuat kabar, berdasarkan data Polres Tangerang Selatan, dalam kurun waktu 1 bulan (Maret-April 2017) terdapat 7 kali pengaduan pelecehan seksual terhadap anak. Korban terdiri dari usia 6-17 tahun yang termasuk ke dalam golongan anak di bawah umur yang seharusnya masih mendapat perlindungan dari orangtua, lingkungan termasuk pemerintah.
Dengan adanya rentetan kasus tersebut, dimana peran pemerintah dalam upaya mengembangkan Kota Layak Anak? Predikat Kota Layak anak kini hanya menjadi prestasi dengan penilaian nol, karena kurangnya pemenuhan hak anak yang dibuktikan dengan adanya kasus yang menjadikan anak sebagai korban pelecehan seksual. Dan pelecehan seksual ini yang selalu menjadi polemik di dalam Kota Layak Anak dengan rekor muri sekaligus kKota pertama yang memiliki Satgas perlindungan anak di tingkat Rw, hanya sekedar formalitas.
Oleh karena itu, jika memang Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang Selatan tidak mampu membenahi permasalahan yang ada saat ini dan hanya menjadikan sederet penghargaan tersebut sebagai modal untuk pencitraan, lebih baik Pemkot Tangerang Selatan berkenan mencopot predikat Kota Layak Anak (KLA), karena dirasa berbagai penghargaan dan rekor muri yang didapat, tidak mampu memberikan perlindungan terhadap anak. Alangkah lebih baiknya untuk benahi, sarana dan prasarana guna pemenuhan hak anak dan tumbuh kembang anak. Jangan sampai penghargaan tersebut hanya sekedar untuk mengejar penilaian, tapi tidak ada langkah kongkret yang diambil.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah, mempertanyakan dasar objektivitas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam memberikan penghargaan tersebut kepada Pemkot Tangsel, indikator apakah yang digunakan? Kementerian negara harus bekerja secara profesional dan oleh karenanya harus bisa mempertanggungjawabkan atas apa yang telah diputuskan. Kami tidak diam, dan menuntut Kementerian untuk menjelaskan kepada masyarakat kota Tangerang Selatan secara umum dan orang tua korban secara khusus. (HJD/DBS)
*Penulis adalah Ketua Umum KORPS HMI WATI (KOHATI) Pamulang