Ma’had Syaikh Nawawi: Menumbuhkan Benih Toleransi Lewat Ibadah Sholat Taraweh

Ma’had Syaikh Nawawi Tampak Dari Depan/ uinjkt

TangselMedia – Di bulan Ramadhan terdapat beberapa amalan yang dikerjakan oleh seorang muslim. Selain kewajiban berpuasa di siang hari, malamnya mereka dianjurkan melaksanakan ibadah shalat taraweh.

Dalam pelaksanaanya terdapat perbedaan pendapat dikalangan kelompok tertentu. Ada yang melaksanakan cukup delapan rokaat ada yang sampai dua puluh. Namun semua itu sudah hampir tidak dipermasalahkan terutama didaerah perkotaan yang masyarakatnya memiliki kemajemukan latar belakang.

Seperti akan didapati saat berkunjung ke Ma’had Syaikh Nawawi. Sebuah Pesantren Mahasiswa yang terletak di Jalan Legoso Raya, Ciputat Timur, Tangerang Selatan itu memiliki mahasantri yang berasal dari  berbagai latar belakang kelompok keagamaan.

Menurut Naflul Wahid, mahasantri adalah sebutan bagi para mahasiswa yang mondok ditempat itu. Ma’had Syaikh Nawawi merupakan pesantren mahasiswa dibawah naungan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bertujuan mengkader mahasiswa supaya memiliki keseimbangan antara keilmuan dan moralitas.

Salah satu kegiatan Ma;had Syekh Nawawi/ Ahdi Nadhiva

“Ma’had ini memiliki mahasantri dari berbagai latar belakang. Ada yang ikut NU, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, dan ormas lain. semuanya mempunyai persamaan sebagai umat Islam dan warga Negara Indonesia. Bahkan ada beberapa mahasantri asing yang sedang kuliah di Indonesia. Dengan perbedaan itu kita semakin mengasah rasa toleransi  sebagai sesama mahasantri” Ujar mahasantri asal Padang yang ditemui di Legoso Ciputat, pada Senin (17/05).

Baca Juga  24 Jam Puskesmas Mataram Beroperasi Selama Libur Tahun Baru

Selain itu menurut Arif Budiman hal unik yang harus di perkenalkan yakni kegiatan sholat taraweh selama bulan Ramadhan di Ma’had tersebut  memiliki arti toleransi yang cukup dalam. Dengan kemajemukan latar berlakang, mahasantri bisa paham akan pentingnya menghargai perbedaan.

“ Unik menurut saya, saat sholat taraweh awalnya kita semua bareng dari rokaat awal. Imam bisasnya diambil dari mahasantri yang sholat delapan rokaat. Setelah tuntas mencapai angka tersebut kemudian si imam beserta jamaah yang melaksanakan sholat taraweh delapan rokaat mundur dari barisan, bukan untuk keluar tapi tadarus, selagi menunggu jamaah lain yang menyelesaikan taraweh sampai dua puluh rokaaat. Setelah selesai rokaat ke dua puluh, mereka merapatkan barisan kembali guna melaksanaan sholat witir secara berjamaah. Simpel tapi mampu menumbuhkan benih toleransi lain,” pungkas mahasantri asal Ciamis tersebut. (AN)