Budaya Literasi dalam Naskah Kuno

Opini673 Views
Foto: edmentum

Sejarah sebagai ingatan kolektif bangsa merupakan pengalaman masa lalu yang di anggap berharga bagi kehidupan masa kini dan masa depan. Sejarah tidak sekedar untuk mengenang kejayaan masa lampau, karena sejarah justru diharapkan sebagai modal untuk membangun bangsa di masa depan. Amat benar apa yang dikatakan oleh mantan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, dalam pidatonya beliau pernah mengatakan bahwa, hanya bangsa yang besar yang dapat memetik pelajaran dari masa silam dan cakap menggunakan pengalamannya dalam menghadapi masa depan dapatlah bangsa itu menjadi bangsa yang besar.

Pada september 2018, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengadakan Penaskahan Nusantara IV. Ini merupakan upaya refleksi bagi segenap masyarakat Indonesia. Dimana, dalam naskah-naskah kuno tersebut banyak nilai-nilai luhur dari berbagai aspek kehidupan yang bisa diterapkan pada masa kini dan masa mendatang.

Tidak banyak suku bangsa di Indonesia yang memiliki tulisan dan tradisi tulis. Tradisi tulis sangat penting sebagai sarana pengabdian buah pikiran, perasaan dan citra masa lampau dari suku bangsa. Di anatara suku bangsa yang beruntung memiliki tradisi tulis adalah suku Bugis, di Makasar Sulawesi Selatan dan suku Mandar di Sulawesi Barat.

Beberapa ahli berpendapat bahwa tradisi tulis di Sulawesi Selatan sudah di mulai jauh sebelum agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan sangat penting menjadi patokan karena pada umumnya cerita kuno Bugis-Makasar menuturkan berbagai kisah yang sama sekali tidak menyinggung masalah Islami.

Baca Juga  Ruang Kaca Bagi LGBT

Tradisi tulis sebagai media pembakuan pemikiran dan memegang perana penting berlangsung hingga abad kedua puluh. Rentang waktu perjalanan sejarah panjang ini, menjadi kisah yang termuat di dalamnya yang kuat rekaman pengetahuan, kisah sejarah sosial dan masayarakat yang tentunya bisa menjadi contoh untuk masa kini dan mendatang.

Tradisi tulis dan karya-karya literasi di abad kelima belas hingga abad ketujuh belas, sebenarnya adalah milik dari tradisi besar di zamannya. Ia hanya ditemukan di istana dan dimiliki oleh para bangsawan tinggi di pusat-pusat kerajaan. Karya-karya itu berupa catatan harian raja-raja, silsilah, ramalan-ramalan, petunjuk bercocok tanam, tata niaga, mistik, undang-undang pelayaran, tuntutan kegamaan, masih banyak lagi.

Pada akhir abad ketujuh belas hingga di awal abad kesembilan belas, ketika sendi-sendi tradisi besar yang didukung oleh kerajaan-kerajaan utama di Sulawesi Selatan satu demi satu dilumpuhkan oleh kekuasaan asing, terjadi ancaman degradisi pemilikan simbol-simbol dan tradisi besar, bersama dengan pemilikan naskah pun mengalami degradasi.

Penulis:  Annisa Syafariah, Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta juruan Manajemen Zakat dan Wakaf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *