Dampak Penerapan Pasal Karet pada UU ITE

Opini1050 Views

Dampak Penerapan Pasal Karet pada UU ITE

Oleh : Martahan Siburian*

Pasal Karet dalam UU ITE

Menurut Southeast Asian Freedom of Expression ( SAFEnet ), semenjak UU ITE diundangkan yaitu tahun 2008 sampai dengan 2019 terdapat 271 laporan kasus ke polisi terkait UU ITE (tirto.id, 13 Agustus 2020 ). Banyak masyarakat Indonesia resah dan gelisah melihat adanya pasal karet dalam UU ITE,  contohnya adalah Pasal 27 ayat (1) terkait konten yang melanggar kesusilaan , pasal 27 ayat (3) Tentang Pencemaran nama baik , pasal 28 ayat (2) terkait ujaran kebencian dan pasal 29 terkait ancaman kekerasan .Setelah dilakukan revisi terhadap UU No.11 Tahun 2008 , pelaporan terkait UU ITE mengalami penurunan .Hanya saja pasal yang dilaporkan tidak mengalami perubahan . Sehingga UU ITE hasil revisi ini dianggap mengandung muatan pasal multitafsir dan masih digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi dan menjerat hak orang untuk bicara .

Merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung , ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011 – 2018 . Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik , Pasal 27 ayat ( 3 ) UU ITE . Kedua adalah kasus ujaran kebencian pasal 28 ayat ( 2 ) UU ITE . Kedua pasal ini memiliki tafsir yang sangat lentur sehingga banyak orang bias dengan mudah terjerat UU ITE . Dan juga  keberadaan dan  penerapannya dinilai tidak jelas dan sangat meugikan masyarakat luas . Akibat dari adanya pasal ini , banyak orang terjerat hukum dan sampai ke meja hijau pengadilan bahkan divonis bersalah dan masuk bui .

Dampak Negatif Keberadaan Pasal-pasal Multitafsir

Keberadaan pasal – pasal multitafsir dalam UU ITE telah menimbulkan sejumlah dampak negatif.

  1. Membatasi kebebasan berpendapat terutama dalam beropini dan memberikan kritik. Beberapa orang telah di tangkap dengan menggunakan UU ITE . Kondisi ini menjadi shock therapy bagi masyarakat , sebagian menanggapinya dengan berhati-hati sedangkan sebagian lagi memilih untuk tidak berpendapat . Hal ini tentunya menghambat perkembangan demokrasi . Padahal budaya cyberspace yang berkembang saat ini membutuhkan masyarakat yang lebih demokratis .
  2. Menimbulkan kesewenang-wenangan karena para penegak hukum dalam menentukan orang yang tersandung UU ITE bersalah dan layak dipidanakan , tanpa memilah dan memilih unsur pasal mana yang di langgar.
  3. Menjadi instrumen sebagian kelompok dalam rangka membalas dendam bahkan menjadi senjata untuk menjebak lawan .
  4. Kurang menjamin kepastian hukum. Putusan terkait pasal-pasal multitafsir menjadi beragam bahkan bertolak belakang . Pada perkara tertentu pelaku dijerat dengan UU ITE akan tetapi pada kasus lain pelaku dibebaskan .
  5. Memicu keresahan dan perselisihan di masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan masyarakat .
  6. Munculnya ketidakefektifan karena beberapa pasal merupakan duplikasi dengan aturan KUHP seperti pasal 27 ayat ( 3 ) UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik telah diatur juga dalam pasal 310 dan 311 KUHP .
Baca Juga  Kesenjangan Hukum di Indonesia

Baca Juga: Keadilan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dimasa Covid 19

Keenam dampak diatas telah membuat tujuan hukum pembentukan UU ITE tidak sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik . Adapun tujuan hukum yang baik adalah memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian jelas tidak terwujud karena keberadaan pasal-pasal multitafsir telah mengakibatkan munculnya keberagaman putusan hakim. Kemanfaatan tentunya tidak akan didapat terutama masyarakat yang ketakutan dengan jerat hukum UU ITE sehingga memilih untuk tidak berpendapat. Sedangkan Keadilan, sulit diperoleh karena pasal multitafsir memicu terjadinya tindakan sewenang-wenang.***

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *