Dinasti Politik dan Teladan Rasulullah SAW

Oleh: Adi Budiman Subiakto/ @adoadie 
(Gerakan Pemuda Ansor Kota Tangerang Selatan)

Adi Budiman Subiakto
Adi Budiman Subiakto

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Desember nanti, masyarakat mulai diramaikan oleh banyak isu politik. Salah satu isu yang ramai diperbincangkan yaitu isu dinasti politik. Dinasti politik adalah hal yang mengacu pada keterlibatan anggota keluarga untuk melanjutkan suksesi yang telah dirintis anggota keluarga lainnya dalam kepemimpinan politik. Banyak politisi daerah yang menjadi raja-raja kecil dan membangun kerajaan politik untuk meraih tahta kekuasaan. Misalnya seorang kepala daerah (ayahnya) yang sudah berkuasa dua periode dan tidak bisa melanjutkan lagi, akhirnya mencalonkan isteri, anak atau anggota keluarga lainnya untuk berlaga dalam kontestasi politik seperti Pilkada. Sebenarnya hal ini tidak menjadi soal. Namun yang menjadi permasalahan adalah banyak yang akhirnya demi melanggengkan kekuasaannya, kepala daerah tersebut mengintervensi birokrasi atau elemen masyarakat untuk memilih calon yang berasal dari anggota keluarganya tersebut. Selain mengintervensi, ada juga indikasi lain, yakni tentang penggunanaan anggaran daerah untuk membiayai pencalonan anggota keluarganya tersebut. Skema politik seperti ini, banyak juga yang akhirnya membuahkan hasil kemenangan bagi anggota keluarganya dalam kontestasi politik. Seperti contoh, Yance di Indramayu dan Ratu Atut di Banten.

Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tentang dinasti politik. Hal ini karena MK menilai bahwa setiap warga negara memiliki hak dalam sebuah pemerintahan. Ada kisah menarik dalam Islam, saat-saat akhir kepemimpinan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidak menetapkan atau mewasiatkan siapa yang akan menjadi penggantinya sebagai pemimpin umat. Abu Bakar, Umar bahkan Ali pun tidak mendapati Rasulullah SAW berpesan tentang siapa yang akan memegang tongkat estafet kepemimpinan umat Islam. Namun ada sebagian umat menganggap, ada satu momen, dimana Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi pemimpin selanjutnya setelah dirinya .pernyataan ini keluar setelah Rasulullah SAW melaksanakan sholat malam, Rasul meminta Ali untuk menghadap dan kemudian berkata kepada Ali “Barang siapa yang menjadikan aku pemimipinnya, maka Ali adalah pemimpinnya”. Golongan yang menyatakan ini kemudian bernama Syiah. Syiah menganggap pernyataan Rasul telah menunjuk Ali sebagai penerusnya kelak. Tetapi bagi kalangan Sunni, pernyataan tersebut merupakan bentuk kasih sayang Rasul terhadap Ali dan memang kedekatan Rasul dengan Ali tidak diragukan lagi, karena Ali juga sebagai menantu Rasul.

Bagi sebagian sahabat, Rasulullah SAW tidak menunjuk atau tidak mewasiat Ali untuk menjadi penerusnya sebagai pemimpin umat Islam saat itu. Sikap Rasul tersebut didukung Lesley Hazleton dalam bukunya Muslim Pertama, hal itu menunjukkan sikap sebagai sang Demokrat sejati. Rasulullah SAW mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Sikap Rasulullah SAW juga merupakan sikap yang menghindarkan umat Islam dari sebuah kepemimpinan umat dalam bentuk Monarki keturunan.

Baca Juga  Es Krim Goreng Sahabat Baru di Segala Suasana

Ada korelasi antara risalah tersebut dengan kenyataan dunia perpolitikan kini tentang dinasti politik. Risalah ini bias menjadi acuan serta sentilan bagi orang-orang yang ingin membangun sebuah dinasti politik. Sikap sang Demokrat sejati yang ditunjukkan oleh Rasulullah idealnya bisa menjadi Uswatun Hasanah bagi para politisi dalam mengembangkan dan membangunan kepemimpinan politik. Walaupun Rasul (mungkin) tidak pernah bicara tentang apa itu Demokrasi atau tentang system politik dan system pemerintah modern, tetapi Rasul telah mengaplikasikan demokasi sebagai sebuah ilmu dalam islam dengan tanpa batasan. Sifat seperti ini dalam bahasa sansekerta disebut Wujud Hana Tan Kena Kinira, seseorang memiliki ilmu terbatas, namun penerapannya haruslah tanpa batas.

Setidaknya ada dua pelajaran yang bias dipetik dalam risalah tersebut.Pertama, bahwa Rasulullah SAW mengutamakan kedaulatan umat diatas kepentingan pribadinya. Mungkin, Rasulullah SAW berpikir dan percaya bahwa kadaulatan umat akan membawa kemaslahatan untuk umat juga, sehingga Rasul-pun tidak mengintervensi atau menyarankan umat untuk memilih dan mengangkat pemimpinan dari anggota keluarganya. Kenyataan hari ini, banyak politisi daerah yang mengintervensi birokrasi atau elemen masyarakat untuk memenangkan calon yang berasal dari anggota keluarganya, bahkan ada juga yang menggunakan anggaran daerah untuk pemenangan dan kampanye anggota keluarganya. Kedua, gagasan tentang suksesi keturunan berlawanan dengan prinsip Islam, dimana seorang orang setara dihadapan Allah SWT. Artinya, setiap orang adalah pemimpin, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 124; “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: ” (Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.

Risalah ini bisa menjadi cerminan bagi politisi agar kiranya dapat mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Islam melalui Rasulullah SAW telah membuat sebuah sistem politik modern dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi modern. Rasulullah SAW telah memberikan kita pelajaran tentang membangun dan mengembangkan sebuah kepemimpinan umat yang didasari oleh kedaulatan umat. Dengan kata lain, bahwa dinasti politik sangat bertentangan dan berlawanan dengan Islam, karena Rasul telah memberikan teladan dengan sebuah sikap sang demokrat sejati bagi umatnya. Saatnya kita belajar, dinasti politik tidak memberikan kemaslahatan bagi negara, namun hanya membawa dampak negatif bagi negara kita dan menjadi penyebab utamanya timbulnya praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Sirkulasi kepemimpinan tidak berjalan dengan baik dan hanya akan dimenangkan dari kalangan disekitar dinasti politik tersebut.