Kebijakan Tax Amnesty untuk siapa?

Opini580 Views

Oleh: Tri Silvia

Merupakan sebuah hal yang wajar ketika dikatakan bahwa seharusnya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah kebijakan yang pro rakyat. Namun pada kenyataannya tidak semua masyarakat merasakan hal yang sama dengan perkataan diatas. Dalam hal ini terkait dengan kebijakan tax amnesty yang beru saja diterapkan.

Kebijakan ini dianggap salah sasaran, karena program yang awalnya didengungkan untuk memulangkan dana-dana milik orang Indonesia yang di simpan di luar negeri atau yang dimiliki oleh para wajib pajak (WP) Indonesia yang notebene merupakan para pengusaha besar, konglomerat ataupun exportir. Namun kini,kebijakan tersebut menyasar kepada seluruh wajib pajak bahkan kepada wajib pajak yang taat bayar. Mereka kini  gelisah dan merasakan ketakutan dikejar dikejar aparat penagih pajak[1].

tax-amnesty-untuk-siapa
Foto: Sindonews

Selain salah sasaran, kebijakan ini dianggap terlalu terburu-buru dan kurang sosialisasi. Pemerintah dinilai terburu-buru karena pemerintah memasukkan RUU Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas Prioritas yang mana RUU ini tidak ada dalam longlist Prolegnas lima tahunan. Sebaliknya, revisi UU mengenai ketentuan umum perpajakan (KUP) yang sudah ada dalam Prolegnas malah diundurkan. Jika niatnya memang ingin melakukan reformasi perpajakan sebagai perwujudan dari Nawacita, mendahulukan RUU Pengampunan Pajak daripada revisi UU KUP adalah sebuah sesat pikir. Dengan sistem dan administrasi perpajakan yang belum mumpuni, pengampunan pajak akan seperti menjala ikan dengan jala yang koyak[2]. Adapun anggapan bahwa kebijakan tax amnesty ini kurang sosialisasi justru datang dari anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun yang mengatakan bahwa pemerintah harus lebih intens melakukan sosialisasi mengenai tax amnesty atau pengampunan pajak kepada masyarakat. Anggapan yang beredar di masyarakat adalah bahwa tax amnesty hanya diperuntukkan untuk masyarakat yang tidak patuh dan mengambil dana-dana yang diparkir di luar negeri. Namun, tidak seperti itu kenyataannya, sehingga membuat masyarakat di dalam negeri ketakutan dan memberatkan. “Saya menyarankan pada pemerintah agar lebih intensif lagi melakukan sosialisasi, kemudian penyuluhan help desk lebih melayani, jangan sampai kemudian kantor pajak ini ngomong A soal tax amnesty, kantor pajak B ngomong yang berbeda,” kata Misbakhun usai acara dialog Polemik Di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 27 Agustus 2016[3].

Dari poin-poin yang telah dipaparkan diatas, yang paling jelas adalah kini masyarakat merasa sangat didzalimi dengan adanya kebijakan tax amnesty ini. Berbagai penolakanpun muncul, mulai dari rakyat jelata, akademisi, politisi, hingga organisasi. Salah satu penolakan yang cukup tegas datang dari rapat kerja nasional yang digelar oleh Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah yang berlangsung mulai 26-28 Agustus 2016 yang memutuskan akan meninjau ulang, atau judicial review UU Tax Amnesty (pengampunan pajak) yang belum lama disahkan oleh DPR[4].

Pandangan Islam

Islam melarang negara memungut pajak dari rakyatnya, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. Ini didasarkan suatu alasan, bahwa pajak dianggap kedzaliman penguasa terhadap rakyatnya. Padahal kedzaliman adalah sesuatu yang diharamkan didalam Islam. Dalam sebuah hadits dituturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan tujuh lapis bumi” (HR.Bukhari dan Muslim). Juga “Sesungguhnya pemungut cukai berada didalam neraka”(HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud)[5].

Baca Juga  Peluang dan Tantangan Building Management Di Era Covid-19

Pajak dalam khazanah fiqh Islam diistilahkan dengan ad-dharibah, yakni harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan kepada mereka, ketika di Baitul mal tidak ada lagi harta. Dalam hal ini berarti pajak atau ad-dharibah diambil terakhir setelah pos-pos penerimaan negara yang lain tidak mencukupi lagi untuk membiayai kebutuhan yang ada.

Dalam pengertian diatas, warga yang diambil pajak atas hartanya hanyalah kaum muslimin. Hal itu karena kebutuhan jihad dan yang terkait dengan itu, juga kebutuhan orang-orang fakir miskin dan ibnu sabil dimana pembiayaan terhadap mereka merupakan kewajiban yang diberikan Allah kepada kaum muslimin bukan yang lain. Demikian halnya kebutuhan untuk membayar gaji pegawai, tentara, hakim, guru, dan lain-lain yang elaksanakan pekerjaan untuk kemashlahatan umat juga dibebankan ke pundak kaum muslim, bukan yang lain. Begitupula perintah menghilangkan bahaya (dharar) itu juga diperintahkan kepada kaum muslim, seperti pembukaan jalan-jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid-masjid, pengadaan saluran minum dan lain-lain. Karena kalau tidak ada maka akan terjadi gharar dalam kehidupan mereka. Termasuk didalamnya pembiayaan untuk keadaan darurat maupun bencana alam, seperti tanah longsor, gempa bumi, dan angin topan; atau pembiayaan untuk mengusir musuh. Semua hal diatas diperintahkan syara’ kepada kaum muslimin.

Adapun wajib pajak tersebut ditetapkan hanya untuk orang yang mampu, dan mempunyai kelebihan harta, karena nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah harta yang diberikan dari orang kaya” (HR. Ibnu Khuzaimah). dan uniknya lagi jumlah pajak yang dikenakan atas harta orang-orang yang mampu dan mempunyai kelebihan itu merupakan harta yang telah dikurangi segala kebutuhan hidupnya secara wajar (ma’ruf). Dengan kata lain, harta tersebut diambil dari sisa pemenuhan kebutuhan nya untuk sandang, pangan, papan, istri, pembantu dan kebutuhan lain yang lazim. Dan yang terakhir bahwa pajak tersebut hanya diambil sesuai dengan kebutuhan, tidak boleh lebih dari yang dibutuhkan, yaitu ketika di baitul maal masih ada harta lain.

Demikianlah, Islam memberikan solusi atas permasalahan negara dalam mengatasi masalah pendapatan dan pengeluarannya. Seluruhnya didasarkan pada dalil-dalil syariah yang bersumber dari Allah SWT, Zat Yang Mahaadil dan Bijaksana.

Konsep tersebut jelas berbeda dengan sistem Kapitalisme seperti di negara ini ketika UU termasuk APBN disusun berdasarkan hawa nafsu manusia. Akibatnya, yang terjadi adalah meluasnya praktik kezaliman Pemerintah. Di antaranya rakyat, termasuk yang miskin, dibebani berbagai bentuk pajak dan pungutan untuk membiayai negara. Di sisi lain kekayaan negara diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Pada saat yang sama, Pemerintah tak segan berkompromi dengan orang-orang kaya pelangar hukum dengan memberikan pengampunan pajak kepada mereka, tak peduli jika harta mereka diperoleh secara ilegal[6].

WalLâhu ‘alam bi ash-shawab.

[1] http://republika,co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/08/28/oclqd2385-tax-amnesty-pemerintahan-kalap-dan-ketakutan-rakyat-diuber-pajak

[2] http://analisis.kontan,co.id/news/manfaat-dan-mudarat-pengampunan-pajak?page=2

[3] http://fokus.news.viva,co.id/news/read/814585-tax-amnesty-sasar-siapa-nbsp

[4] http://republika,co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/08/28/ocltzw382-muhammadiyah-akan-ajukan-judicial-review-uu-pengampunan-pajak

[5] Kartikasari,Endah, ST,MEI; Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Hutang, membedah APBN 2005-2010 VS APBN Khilafah; Al-Azhar press; Bogor; 2010

[6] www.hizbut-tahrir,co.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *