Misteri Hilangnya Lembaga Survey di Pilkada DKI Jakarta, Putaran Kedua

TangselMedia – Pilkada DKI Jakarta putaran kedua tinggal menghitung hari. Tidak seperti putaran pertama, tidak banyak lembaga survei yang merilis hasilnya. Sejauh ini, baru tiga lembaga survei yang merilis hasil surveinya, yaitu: Median, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dan Sumber Data Indonesia(SDI). Semuanya menunjukkan Paslon Anies-Sandi menang atas Ahok-Djarot.

Menurut Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Politik dan Pemerintahan yang juga Wakil Ketua Dewan Pakar PP. Parmusi, fenomena hilangnya lembaga survey pada putaran kedua Pilkada DKI adalah fenomena yang tidak aneh.

Muchtar mengatakan lembaga survey selama ini dominan bagaikan perusahaan konsultan politik. Maka perannya bukan untuk perkuatan atau percepatan demokratisasi di Indonesia tetapi untuk menyediakan jasa profit bidang kegiatan survei opini publik dan kampanye perolehan suara pemilih kepada pengguna jasa, yakni tim pemenangan paslon, baik Presiden, Gubernur, Walikota,  Bupati, bahkan sudah lebih maju, yakni calon anggota legislatif DPR dan DPRD.

Muchtar Effendi Harahap (sumber foto: kiblat.news)

Sebagai lembaga penyedia jasa konsultansi  politik perolehan suara pemilih, maka syarat utama pekerjaan adalah perjanjian atau kontrak kerja dengan pengguna jasa. Di dalam kontrak yang paling penting adalah kesepakatan pembiayaan yang harus dibayar oleh pengguna jasa.

“Saya menduga, hilangnya atau tidak banyaknya lembaga survei memublikasikan hasil opini publik putaran kedua Pilkada DKI, karena pengguna jasa, khususnya Paslon Ahok-Djarot  tidak membutuhkan jasa lembaga survei lagi”, ujarnya saat dihubungi TangselMedia, Selasa 11 April 2017.

Baca Juga  LSI Denny JA: Ada 4 Isu Utama yang Menarik dari Hasil Survei, Jelang Pilkada DKI Jakarta

Muchtar menambahkan, ada dua hal kemungkinan penyebab kenapa paslon Ahok-Djarot tidak memakai jasa lembaga survey kembali pada putaran kedua Pilkada DKI.

“Kemungkinan pertama, Paslon Ahok-Djarot sudah sadar, bahwa publikasi hasil survei tidak signifikan memengaruhi pemilih. Kemungkinan kedua, tapi ini lebih kecil, sudah ada kontrak kerja dengan Paslon Ahok-Djarot, tetapi hasil survei menunjukkan angka pemilih pengguna jasa jauh lebih rendah dibandingkan Paslon pesaing. Untuk memanipulasi angka pemilih menjadi lebih besar, sehingga tidak berani, karena kontrol publik begitu ketat pada putaran kedua ini”, jelas pendiri NSEAS ini.

Seperti diketahui, lembaga-lembaga survey begitu ramai membesarkan suara pemilih Paslon Ahok-Djarot pada putaran pertama, seperti Charta Politica, Survei Indikator, Populi Center, SMRC dan Poltracking. Namun pada putaran kedua ini, tidak ada satu pun lembaga-lembaga tersebut merilis hasil surveinya.

“Dari kedua kemungkinan tersebut, saya lebih setuju kemungkinan pertama. Lembaga-lembaga survey yang begitu ramai membesarkan suara pemilih Paslon Ahok-Djarot pada putaran pertama, tidak lagi mendapatkan pekerjaan jasa dari Paslon Ahok-Djarot”, pungkas Muchtar. (HJD)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *