Stop Bertindak Kekerasan Dalam Mendidik Anak !

STOP BERTINDAK KEKERASAN DALAM MENDIDIK ANAK !

Oleh : Nuraeni*

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anaknya dapat terjadi dimana pun dan kapanpun. Dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Latar belakang dari judul yang saya angkat berawal dari kasus yang terjadi pada 13 Maret 2021, dimana warganet digemparkan dengan beredarnya kabar seorang anak yang disekap dan dirantai kakinya oleh orangtua kandung nya sendiri di dapur rumah selama tiga hari , dengan alasan terpaksa merantai anak untuk memberi efek jera karena kenakalan anaknya yang suka mengambil uang Ayah nya.

Berikut ini saya akan memberikan opini terhadap kasus dimana orang tua dalam mendidik anaknya menggunakan kekerasan.

Kekerasan orang tua terhadap anak adalah peristiwa perlukaan fisik, mental, dan seksual yang sengaja dilakukan oleh orang tua yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak dan memungkinkan menyebabkan kerusakan fisik dan psikologis yang dimana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anaknya.

Hal ini menjadi sangat ironis, mengingat anak yang- notabene generasi penerus bangsa, seharusnya mendapatkan kasih sayang orangtua, bimbingan serta pendidikan yang penuh cinta kasih. Permasalahan yang muncul dalam pemberitaan yakni kekerasan yang dialami anak akibat perlakuan dari orang tua. Anak-anak yang semestinya menjadi penerus bangsa yang berpotensi serta penerus cita-cita bangsa, menjadi terhambat akibat perilaku orang tua yang salah dalam mendidik anak.

Kekerasan pada anak (child abuse) diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental. Pengertian kekerasan terhadap anak-anak atau child abuse pada mulanya berasal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Sekarang istilah tersebut dikenal dengan Child Abuse (kekerasan anak). The National Communication Of Inquiry (Andri, 2006), kekerasan pada anak adalah seala sesuatu yang dilakukan oleh individu, institusi atau suatu proses yang secara langsung depan keselamatan dan kesehatan mereka kearah perkembangan kedewasaan.

Kekerasan terhadap anak merupakan persoalan yang cukup serius, ditinjau dari data yang  saya peroleh pada 04 Januari 2021, dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap anak selama kurun 2020,  Ketua KOMNAS PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak selama 2020 meningkat 38 persen, hingga menjadi 2.700 kasus.

Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014 (UU 35/2014) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Kriteria berdasarkan usia tersebut tersebut berbeda dengan perspektif psikologi yang menggolongkan usia 12 sampai 18 tahun sebagai masa remaja pertengahan, bukan lagi usia anak-anak. Namun, istilah anak yang mengacu pada konsep anak dalam perspektif hukum atau Undang-Undang.

Masa kanak-kanak adalah periode untuk tumbuh dan berkembang dengan cepat dan rentan dengan berbagai risiko yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang tersebut. Pertumbuhan fisik (otot, otak, tulang) dan perkembangan sosial serta intelektual berlangsung dengan sangat cepat di periode lima tahun sampai anak mencapai usia 18 tahun. Salah satu risiko pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu adalah berbagai jenis perlakuan salah dan berbagai bentuk kekerasan

Anak adalah individu yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa, baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan terhadap anak. Anak adalah generasi muda penerus bangsa di masa depan, sehingga ia mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan keberadaan suatu bangsa dan Negara pada masa yang akan datang. Tentunya , untuk menjadi seorang anak sebagai generasi muda penerus bangsa, orang tua sangatlah berperan dalam mendidik anaknya agar kelak anaknya memiliki masa depan yang cerah guna menjadi generasi muda penerus bangsa.

Banyak cara yang diterapkan oleh orang tua dalam mendidik anak, ada yang mengutamakan kasih sayang, komunikasi yang baik dan pendekatan yang bersifat efektif, adapula yang menggunakan kekerasan sebagai salah satu metode dalam menerapkan kepatuhan dan kedisiplinan anak. Kekerasan yang dilakukan pun dapat secara fisik maupun psikis, yang dipilih sebagai cara untuk mengubah perilaku anak dan membentuk perilaku yang diharapkan.

Baca Juga  30 DKM Kumpul Bahas Tempat Maksiat di Pondok Aren

Penyebab kekerasan sangat beragam, tetapi pada umumnya disebabkan  karena orang tua yang selalu menekankan kewajiban kepada anaknya untuk mentaati perintah nya, akan tetapi seringkali dalam memenuhi keinginan orang tua, anak-anak berada di bawah tekanan bahkan ancaman. Kemudian ketika seorang anak tidak dapat memenuhi kewajiban  atas kemauan orang tuanya pada akhirnya memicu terjadinya kekerasan terhadap anak. Orang tua beranggapan bahwa dengan kekerasan, anak akan menjadi patuh, atau agar anak lebih baik lagi dan jera atas perbuatannya tetapi hal tersebut justru sebaliknya, yakni malah menjadikan anak nakal dan keras kepala. Bertolak dari itu maka timbul perilaku orang tua yang sebenarnya tidak boleh dilakukan terhadap anak, seperti pemukulan, pengurungan (penyekapan) dan caci maki dengan kata- kata kotor, membandingkan antara anaknya dengan anak yang lain, meremehkan kemampuan yang ia miliki, menghina dan lain-lain.

Berapa banyak orang tua yang membenarkan dirinya, menunjukan bahwa mereka seolah menghalalkan kekerasan dengan tujuan mendidik anak. Pandangan yang salah ini masih banyak digunakan oleh orangtua lainnya sampai saat ini. Para orang tua beranggapan bahwa perlakuan keras dan kasar malah justru mampu membentuk karakter yang kuat dan baik anak di massa yang akan datang atau massa dimana anak tumbuh dewasa. Tapi, tanpa mereka sadari, kekerasan tersebut justru memberikan efek negatif yang lebih besar terhadap si anak. Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis , akan mempengaruhi pada struktur kepribadiannya.

Pengalaman kekerasan yang diterima anak, selama kehidupannya dapat menimbulkan traumatic pada kehidupan anak dalam jangka waktu panjang. Selain itu dapat menghantarkan anak pada pribadi yang labil, kecenderungan mengalami stress, depresi bahkan berakibat fatal dengan mencoba membunuh diri. Dengan suasana hati atau perasaan yang tidak mendapatkan penyelesaian, menjadikan anak beresiko tinggi menjadi pelaku kekerasan.

Secara psikologis, kehidupan emosinya penuh kecemasan, labil, pengendalian emosinya buruk. Anak menunjukan perilaku emosi negative, ia mudah marah atau menangis , namun juga dapat mengembangkan perilaku agresif ,suka menyerang atau pemarah. Relasi sosialnya terhambat, ia menjadi kurang mampu beradaptasi, menarik diri dari pergaulan, sebagai bentuk rasa aman bagi dirinya. Anak akan menghindari untuk berinterksi dengan teman sebaya, atau sebaliknya, ia akan bergaul dengan komunitas dengan anak-anak yang berperilaku buruk.

Dengan demikian jelas bahwa hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, sebagai orang tua haruslah melakukan pencegahan terhadap dirinya sendiri dengan meningkatkan pemahaman terhadap dampak kekerasan terhadap anak, agar masa depan anak bahagia, dapat berkembang secara optimal, dan dapat mnejadi generasi penerus bangsa.

Dalam hal ini, Negara memiliki tugas dan tanggung jawab dalam perlindungan anak, sebagaimana yang  didasarkan atas amandemen UUD 1945 serta Konvensi PBB tentang Hak-hak anak (KHA) yang telahdiratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, dikenal dengan empat prinsip utama untuk melindungi anak (Pusdiklat Kesos, 2014, p. 24-25), yaitu ;

  1. Non diskriminasi Artinya semua anak mempunyai hak yang sama baik di mata hukum maupun untuk memperoleh hak-haknya termasuk untuk memperoleh kesejahteraan.
  2. Kepentingan terbaik bagi anak Keputusan yang diambil mempertimbangkan kenyamanan bagi si anak, seperti putusan pengadilan anak, tempat tinggal apakah dengan orang ibu angkat atau di LKSA.
  3. Hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang Dalam kehidupan sehari-hari anak punya hak untuk memperoleh gizi yang seimbang dan perawatan kesehatan agar sehat. Anak juga berkesempatan untuk menentukan sekolahnya sesuai dengan kemampuannya. Kita sebagai orangtua hanya wajib memberikan beberapa alternatif dan anaklah yang menentukan sekolahnya.
  4. Menghormati pandangan anak Sebagai orangtua kita harus menghargai pendapat atau gagasan anak. Siapapun yang dirinya merasa dihormati atas pendapatnya, maka mereka akan merasa senang, termasuk seorang anak

Saya selaku penulis, diharapkan anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan usianya dan tidak ada lagi perlakuan salah terhadap mendidik anak dan tidaklah menjadikan kekerasan sebagai sarana efektif dalam  mendidik anak untuk menjadikan kepribadiannya lebih baik. Yang harus kita fikirkan adalah bukan sekedar agar si anak jera atas kesalahan yang ia lakukan, tapi adalah dampak negatif jangka panjang dari kekerasan yang telah dilakukan orang tua terhadap anaknya.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *