Guru (Belum) Berdaulat!

Nasional, Opini1763 Views

Guru (Belum) Berdaulat

 

Oleh : Budi Sartono*

 

72 tahun bangsa Indonesia sudah merdeka. Sepanjang waktu itu pula pendidikan di negeri ini menikmati kemerdekaannya. Semenjak Ki Hadjar Dewantara mencanangkan Trilogi falsafah pendidikan Indonesia, guru adalah pemegang kunci, subyek, sekaligus pemeran utama pendidikan. Guru harus bisa menjadi teladan, panutan, penyemangat, dan motivator bagi anak didik. Pasang surut peran dan fungsi guru Indonesia linier dengan dinamika pendidikan itu sendiri. Kurikulum, pada hakikatnya adalah “Instrument”, alat sekaligus rambu-rambu penyelenggaraan pendidikan di berbagai jenjang yang ada. Beragam kurikulum dibuat dengan misi dan tema, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, budaya bahkan politik suatu bangsa. Tantangan, ancaman dan kondusifitas lingkungan masyarakat banyak mewarnai konten dan muatan sebuah kurikulum.

Sejak disusunnya kurikulum untuk yang pertama kalinya pada tahun 1947, kurikulum yang berperan penting dalam mengatur nadi kehidupan pendidikan. Kurikulum 1947 dirancang sesuai dengan situasi dan kondisi kebangsaan saat itu. Kurikulum yang menitikberatkan pada “Values & Attitudes”, pembentukan watak, karakter dan perilaku anak didik. Kala itu, kurikulum menggunakan azas Panca Wardana, yakni 5 nilai yang mencakup pengembangan moral, kecerdasan, emosional, keprigelan atau keterampilan, dan jasmani. Kurikulum ini praktiknya baru mulai dilaksanakan pada tahun 1950, dan hanya berjalan singkat sampai tahun 1964. Tahun 1964 lahir kurikulum baru namun masih beraroma lama, Panca Wardana, yang kontennya diubah menjadi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral.

Pada era ini hari Sabtu ditetapkan sebagai hari bebas belajar yang disebut dengan Hari Krida. Hari Sabtu kegiatan lebih dititik beratkan pada rekreasi, diisi dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan, kesenian, olah raga, permainan, kesemuanya dalam upaya mengembangkan minat dan bakat siswa. Seiring dengan berjalannya waktu, sampailah bangsa ini pada momen kritis, di saat meletus pemberontakan G30S PKI tahun 1965, sehingga pemerintah harus mengamankan dan menegakkan kembali ideologi Pancasila, mengembalikan jati diri bangsa melalui pendidikan. Tahun 1968 dilakukan perubahan cukup fundamental terhadap konten kurikulum.

Panca Wardana dirubah menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengembangan pengetahuan dasar dan kecakapan khusus. Misi kurikulum saat itu adalah membentuk manusia yang Pancasilais sejati, kuat, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, moral, budi pekerti dan agama. Reformasi kurikulum pendidikan dilakukan untuk menyelamatkan moral bangsa dari rongrongan ideoleogi komunis.

Kurikulum demi kurikulum hadir silih berganti mewarnai kehidupan pendidikan negeri ini. Guru dan semua komponen pendidikan selalu menjadi ujung tombak dan garda terdepan implementasi sebuah kurikulum. Perubahan kurikulum tidak selalu bisa diikuti dengan cepat oleh perubahan sikap, perilaku dan kinerja guru. Akselerasi dan adaptasi menjadi kendala tersendiri bagi guru dalam mengimplementasikan kurikulum. Guru harus mulai belajar dan belajar lagi setiap ada perubahan kurikulum. Pelatihan, seminar, workshop, sarasehan senantiasa dilakukan, namun kesenjangan selalu tercipta antara teori dan praktik implementasi kurikulum.

Guru dituntut selalu siap terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Akselerasi guru seringkali tak sejalan dengan kecepatan perubahan. Sangat dirasakan, kurikulum terlalu cepat berubah sebelum yang ada tuntas dilaksanakan serta dievaluasi. Idealnya, perubahan kurikulum tidak tergesa-gesa dilakukan. Apabila dicermati, sejak awal diberlakukan kurikulum 1947, telah terjadi 9 kali pergantian kurikulum, yakni pada tahun 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Rentang waktu perubahan paling singkat 2 tahun, paling lama 12 tahun. Perubahan kurikulum fundamental terjadi pada tahun 1968 dan 2013. Masing-masing memiliki karakter yang sejalan dengan tantangan dan ancaman jamannya.

Baca Juga  Asian Para Games 2018 Makin Dekat, Pelatih Paraswimming Perbanyak Diskusi Dengan Atlet

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru Pasal 8 menyatakan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Bahwasanya guru sebagai kendali utama pendidikan dan pengajaran di sekolah, memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Guru tak diberi kesempatan bernafas, bergerak-berkreasi mewujudkan idealisasi nilai-nilai pendidikan dan pengajaran yang diyakininya.

Guru tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Nilai intrinsik pendidikan lebih banyak diterjemahkan ke dalam bentuk perintah dan aturan kelembagaan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Kebebasan guru dibelenggu oleh waktu dan kesempatan. Guru telah berubah menjadi semacam “Mesin” kurikulum. Guru bekerja diprogram melalui “Softwares” yang bernama Kurikulum. Esensi pendidikan sesungguhnya adalah memberi ruang dan kesempatan seluas-luasnya bagi seorang manusia, termasuk guru, untuk berkreasi, berinovasi dan mengembangkan segala potensi dan rasa keinginan tahuan yang ada pada dirinya. Kurikulum hanya sebuah alat untuk membuka jalan dan memberi arah berprosesnya pendidikan. Guru semestinya bukan sekedar operator kurikulum, akan tetapi juga sebagai penyelaras dan harmoni kurikulum. Guru harus bisa mewujudkan nilai-nilai ideal pendidikan, yang diyakini merupakan nilai-nilai kemuliaan manusia yang berlaku universal bagi setiap orang.

Kurikulum membuat guru terkungkung oleh aktivitas-aktivitas kaku, dan yang terkadang kurang mengembangkan prinsip-prinsip humanisme dalam pendidikan. Kurikulum 2013 dengan segala pengembangannya, belum menampakkan hasil yang signifikan dalam memaknai bahwa pendidikan adalah sebuah proses menuju sebuah kemuliaan. Kurikulum ibarat mobil yang memuat banyak penumpang dengan beragam tujuan dan kepentingan. Guru dan siswa, dua-duanya masih menjadi obyek kurikulum. Di satu sisi, guru harus berlaku sebagai subyek pendidikan, menjadi pelaku utama penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di kelas.

Namun, di saat yang sama, guru menjadi obyek kurikulum. Semua terprogram dalam alur-alur kerja, yang dibatasi oleh waktu dan ruang gerak. Program “Full Day School”, Sekolah Lima Hari dalam Sepekan adalah bukti konkrit bahwa guru dan siswa, telah menjadi obyek pendidikan yang dikemas dalam sebuah sistem. Profesionalitas guru hanya diukur oleh rentang waktu keberadaannya di sekolah. Profesionalisme guru ditetapkan dengan satuan nominal yang disebut tunjangan profesi atau tunjangan sertifikasi.

Begitu pula, profesionalitas guru diukur oleh seberapa tinggi tingkat kepatuhannya dalam menjalankan regulasi-regulasi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kurikulum. Pelatihan, seminar, workshop, dan kegiatan-kegiatan lain, diyakini akan mampu mendongkrak profesionalitas guru. Namun, satu hal penting yang dilupakan, bahwa setiap kali guru melakukan pelatihan atau sejenisnya di luar sekolah, yang terkadang memakan waktu berhari-hari, maka pada saat yang sama pula, guru telah meninggalkan anak didiknya, meninggalkan tanggung jawab moralnya di kelas. Kewajiban mendidik anak di kelas digantikan oleh tugas-tugas formal kurikuler, yang seringkali kurang terawasi dengan baik.

Kedaulatan guru belum seperti yang diharapkan. Kebebasan, kemerdekaan dalam menanamkan nilai-nilai hakiki pendidikan di kelas seolah tergadaikan oleh kepatuhan dan ketaatannya terhadap aturan dan regulasi kurikulum. Predikat guru sebagai profesi akhirnya menafikkan nilai-nilai dedikasi yang selama ini dianut dan menjadi azas pengabdian guru. Tantangan pendidikan ke depan yang semakin berat memang benar membutuhkan guru yang profesional. Namun demikian, profesional tidak cukup menjadikan guru sosok atau figur mumpuni, yang menjadikan pekerjaan guru tidak hanya sebagai ladang profesi.

 

*Penulis adalah Praktisi Pendidikan