KPU Menyadari Kampanye Lewat Alat Peraga Tidak Efektif

KPU Mneyadari Kampanye Lewat Alat Peraga Tidak Efektif
Kampanye Di Tembok Rumah Seorang anak berada di depan pintu rumah yang di penuhi baliho dan spanduk caleg di kawasan Ciledug, Tangerang, Banten. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

TangselMedia – Kampanye calon anggota legislatif melalui pemasangan alat peraga atau bahan kampanye dinilai tidak efektif karena di dalam surat suara hanya tertulis nomor dan nama, kata anggota KPU Provinsi Jawa Tengah Diana Ariyanti. “Lebih efektif ketika menggelar kampanye dengan model rapat terbatas karena bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat,” ujarnya saat menjadi pembicara pada acara “Talk Show Pemilu Serentak 2019” di lantai IV Gedung Rektorat Universitas Muria Kudus (UMK), Selasa.

Dengan model rapat terbatas, kata Diana, caleg bisa mendengarkan langsung aspirasi masyarakat dan masyarakat bisa melihat apakah caleg mampu mewakilinya atau tidak. Selain tidak efektif, kata dia, pemasangan APK yang sembarangan justru merusak estetika. Pada kesempatan tersebut, dia mengingatkan mahasiswa agar menjadi pemilih cerdas dan turut membantu dalam sosialisasi agar masyarakat makin cerdas. Terlebih lagi, lanjut Diana, Pemilu 2019 makin dekat karena diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019.

Menurut dia, keputusan masyarakat untuk memilih, tentunya tidak hanya berdasarkan APK yang dipasang, tetapi juga ingin mengetahui latar belakang caleg dan apa yang akan dilakukan ketika menjadi wakil rakyat, termasuk melihat visi dan misi calon presiden maupun wakilnya juga penting. Untuk mengetahuinya, kata Diana, caleg harus turun untuk bertemu masyarakat melalui rapat terbatas atau lainnya. “Justru kampanye dengan rapat terbatas dirasa lebih efektif dibandingkan hanya memasang APK yang hasil penelitiannya justru menunjukkan hasil yang tidak efektif,” ujarnya.

Baca Juga  Antisipasi Bencana Banjir, Pemerintah Kabupaten Kudus Menambah Bangunan Polder

Ia juga mengingatkan kepada mahasiswa untuk ikut berperan dalam pemilu 2019 mendatang, termasuk turut bergabung sebagai petugas di tempat pemungutan suara atau kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Usia minimal 17 tahun, katanya, sudah bisa menjadi KPPS. Sebelumnya, minimal berusia 25 tahun. Dengan demikian, mahasiswa bisa ikut serta menjadi bagian dari penyelenggara pemilu. Sementara itu, Wakil Rektor IV UMK Kudus Subarkah mengatakan bahwa mahasiswa tidak boleh apatis dalam pemilu.

“Mahasiswa harus menyalurkan suaranya, tentunya sesuai dengan kata hatinya. Jangan sampai memilih karena logistik atau politik uang,” ujarnya. Ketika menganggap semua calon jelek atau tidak cocok, dia menyarankan untuk memilih calon yang terbaik dari yang terburuk. Menurut dia, sistem demokrasi selama ini sudah teruji dan memiliki sejarah Panjang.

“Sistem demokrasi juga paling manusiawi dan mengagungkan harkat dan martabat manusia,” ujarnya. Selain itu, lanjut dia, demokrasi juga menjamin secara konstitusional hak-hak warga negara atas dasar hukum dan demokrasi juga mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kelanggengan stabilitas politik.