TangselMedia – Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, saya menonton beberapa film untuk mengusir rasa bosan dalam penerbangan 22 jam dari Bandara Logan Boston ke Soekarno Hatta (Transit di Narita). Ada satu film yang menarik perhatian saya yaitu sebuah film Jepang yang berjudul Fueled: The Man They Called Pirate. Film yang berdurasi lebih dari dua jam ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Naoki Hyakuta.
Terlepas dari catatan kritikus, film ini terasa istimewa karena mengandung pesan khusus tentang nilai (Rasa) persaudaraan dan kebangsaan (Nasionalisme). Film ini mengisahkan perjuangan Tetsuzo Kunioka dalam membangun kembali perusahaan minyaknya di tengah hantaman krisis sebagai dampak kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, dan konspirasi mafia minyak global.
Meskipun diserang kiri-kanan, Tetsuzo (Diperankan Junichi Okada) tetap teguh mempertahankan prinsipnya bahwa seluruh orang yang bekerja di perusahaan miliknya adalah sebuah keluarga besar. Ketika perusahaan terancam bangkrut karena dihantam krisis berat, dia tidak mau memberhentikan satu orang pun. Saya suka sekali menonton adegan rapat antara Tetsuzo dengan para petinggi senior perusahaan. Meski para manajer sudah bulat merekomendasikan pemberhentian sebagian karyawan, tapi dia tetap bersikeras menolak ide tersebut.
Dengan tegas Tetsuzo berkata, “Kalau perusahaan jatuh (bangkrut), biarlah kita jatuh bersama.” Tak ada satu orang pun di perusahaan ini yang diberhentikan karena krisis, kita akan berjuang bersama-sama, tambahnya. Selain itu Tetsuzo juga meyakini prinsip kedaulatan bangsanya. Dia tidak mau ditekan mafia perminyakan, meski harus menanggung konsekuensinya, yakni pasokan minyaknya diamputasi.
Untuk menghadapi tekanan mafia minyak, dia terpaksa mengambil jalan alternatif dengan menjemput langsung suplai minyak (Pakai tanker khusus) ke Iran meski dengan resiko dihadang kapal perang Inggris. Singkat cerita, perusahaan Tetsuzo tetap survive di tengah hantaman berbagai krisis.
Nilai (rasa) persaudaraan dan kebangsaan dalam membangun perusahaan, seperti yang ditunjukkan Tetsuzo, memang cenderung terdegradasi di era modern ini. Di tengah kompetisi yang semakin ketat, kebanyakan pemilik dan petinggi perusahaan lebih mementingkan uang (profit) daripada kesejahteraan dan masa depan pekerja. Kalau perusahaan terancam bangkrut, biasanya para pekerja yang menanggung terlebih dahulu (dikorbankan). Sementara para pemilik dan pimpinan perusahaan masih bisa menikmati keuntungan –termasuk beberapa pejabat korup dan preman yang menjadi parasit perusahaan.
Saya pikir nilai-nilai persudaraan dan kebangsaan, meski tidak lagi populer, perlu ditanamkan dalam perusahaan atau organisasi tempat bekerja. Perusahaan boleh saja mencari keuntungan (Dalam batas tertentu), tetapi tidak boleh menafikan, apalagi sampai mengorbankan para pekerjanya, terutama level rendah.
Para pemilik atau pimpinan perusahaan harus memaknai bahwa setiap orang adalah bagian penting dari perusahaan, sebagai sebuah keluarga besar yang bekerja dan berjuang bersama-sama. Dalam menjalankan perusahaan (Organisasi) juga harus memegang teguh rasa kebangsaan (nasionalisme) sehingga tetap mengutamakan kepentingan –kemajuan dan kesejahteraan– bangsa, bukan mencari keuntungan semata. Dengan demikian setiap perusahaan akan peduli terhadap pembangunan SDM bangsa, kepentingan masyarakat sekitar, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Perusahaan juga akan berperan penting dalam mewujudkan kepentingan strategis nasional.
Nilai (Rasa) persaudaraan dan kebangsaan ini harus disemai dan ditanamkan dalam sanubari setiap warga negara. Apalagi di tengah tantangan era global dan digital sekarang ini. Kita juga melihat belakangan ini semangat persaudaraan dan persatuan bangsa mulai meredup akibat manipulasi politik identitas (Sentimen primordial) dalam kompetisi politik praktis. Selain itu rasa cinta Tanah Air juga dihantam oleh kepentingan pragmatis (Korporasi) dan invasi ideologi transnasional.
Mewujudkan persatuan sebuah bangsa besar yang sangat plural seperti Indonesia memang tidak mudah, namun kita harus terus menapak maju. Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-74 Republik Indonesia seharusnya menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali nilai nasionalisme. Animo masyarakat mengikuti berbagai kegiatan dan upacara HUT Kemerdekaan harus dibarengi dengan pemupukan rasa persaudaraan dan kebangsaan. Antusiasme dalam berbagai kegiatan –saya sendiri ikut lomba bulu tangkis dan catur tingkat RW– akan semakin lengkap jika diikuti penguatan rasa solidaritas dan persaudaraan sesama anak bangsa.
Seperti yang dikatakan Bung Karno (Mengutip pendapat Ernest Renan) bahwa bangsa adalah satu jiwa (Une nation est un ame). Satu bangsa adalah suatu solidaritas yang besar yang diikat kehendak hidup bersama. Jadi setiap warga negara harus bersatu dan merasa sebagai anak bangsa yang berjuang, bersinergi, bersama-sama untuk Indonesia maju dan sejahtera. Salam persaudaraan dan persatuan!
Suparlan Lingga Sekjen Asosiasi Alumni Program Beasiswa Amerika-Indonesia (ALPHA-I) Periode 2019-2021 (Detik.com)