Oleh : Abdul Hajad*
Tindakan rasisme tidak dapat dibenarkan oleh siapapun dan apapun bentuk motifnya. Sebab konstitusi peraturan dan undang undang di negara ini telah melarangnya guna menghindari konflik horizontal sesama anak bangsa.
Semua sama di mata hukum dan memiliki kedudukan sosial yang setara di masyarakat dalam hal memimpin dan dipimpin. Semboyan bhinneka tunggal Ika dan ideologi Pancasila sudah sangat jelas maknanya.
Semua anak bangsa memiliki hak yang sama. Berhak diperlukan secara adil dan dijamin untuk berekspresi dalam berbagai wadah baik organisasi ataupun institusi.
Namun pada faktanya dilapangan dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya dikalangan orang yang tidak berpendidikan (SDM rendah) saja, para aktivis yang notabene akademi dan intelektual di kalangan anak muda rasisme masih tumbuh subur.
Perebutan kepemimpinan di tubuh organisasi pemuda seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tidak lepas dari praktek rasisme suku dan golongan, pendatang dan pribumi di suatu daerah.
Rasisme merupakan bentuk nyata Keterbelakangan mental bagi anak muda yang takut bersaing dan tidak memiliki jiwa kompetisi dan kolaborasi.
Kompetisi dan kolaborasi menjadi sangat penting di era keterbukaan informasi sekarang ini. Anak muda harus berani berkompetisi namun harus siap juga berkolaborasi.
Dunia aktivisme harus dijauhi dari tindakan rasisme sebab akan jadi bom waktu yang mengancam idealisme anak muda dan keutuhan bangsa. Sebab rasisme titik awal lahirnya tindakan anarkisme.
Menurut penulis, dikotomi pribumi dan pendatang merupakan bentuk nyata framing “sensitif issue” sebagai “black campaign” yang paling ampuh dimainkan untuk menyerang secara personal bagi orang-orang yang takut kalah dalam berkontestasi.
Dalam perebutan kepemimpinan diberbagai tingkatan rasisme sering dipakai untuk menjatuhkan lawan. Padahal rasisme sangatlah berbahaya dampaknya bagi keutuhan bangsa. Maka wajib ditolak!
Sekian.
Penulis adalah Aktivis muda Nahdatul Ulama dan Ketua PAC GP Ansor Parungpanjang