Efektifitas Sistem Multi Partai di Indonesia

EFEKTIFITAS SISTEM MULTI PARTAI DI INDONESIA

Oleh :  Fadly Al Sandy*

 

Sebagai negara demokrasi yang berlandaskan UUD. Negara Indonesia sangatlah menghargai pendapat ataupun aspirasi dari rakyatnya. Oleh karena itu UUD telah mengatur dan menjamin sebagaimana rakyat Indonesia, bebas untuk berkumpul ataupun berorganisasi. Sehingga setiap rakyat pun terdorong untuk membentuk suatu organisasi.

Syarat pembentukan partai politik pun telah di atur sedemikian rupa di dalam UU tentang partai politik. Seperti halnya di dalam pasal 2 ayat 1tahun 2008 UU partai politik. Telah di jelaskan bahwa, “partai politik di dirikan dan di bentuk paling sedikit 50 orang warga negara Indonesia yang berusia 21 tahun dengan akta notaris”.[1] Sehingga setiap kelompok orang tidak dapat dengan sembarangan ingin membentuk suatu partai politiknya sendiri.

Indonesia telah menjalankan sistem multi partai sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multi partai di Indonesia. Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa partai politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara lain PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo (2,66%), PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI (1,43%)Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang berkembang di Indonesia pada saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem multi partai, banyak pengamat politik berpendapat bahwa sistem kepartaian yang dianut pada era Orde Baru adalah sistem partai tunggal. Ada juga yang menyebut sistem kepartaian era Orde Baru adalah sistem partai dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi antar partai politik yang ada pada saat itu. Benar, jika jumlah partai politik yang ada adalah lebih dari dua parpol sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem multi partai. Namun jika dianalisis lebih mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga partai politik di dalam pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan “privelege” dari pemerintah untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.

Di dalam sebuah sistem presidensial dan multi partai membangun koalisi partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial – khususnya di Indonesia – tidak bersifat mengikat dan permanen. Partai politik yang tergabung di dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja menarik dukungannya. Contohnya adalah PAN sebagai partai pendukung SBY tiba-tiba menarik dukungannya ditengah perjalanan. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung melakukan oposisi.

Baca Juga  JPM Penyelamat Kemacatan Di Tanah Abang

Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk mendukung calon presiden tidak mencerminkan dan menjamin dukungan semua anggota parlemen dari masing-masing partai politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden. Partai politik tidak mampu melakukan kontrol terhadap para anggota-anggotanya di parlemen untuk selalu mendukung pemerintah. Hal yang menarik adalah tidak sedikit anggota DPR dari partai Golkar, PPP, PKB, yang memiliki wakilnya di kabinet melakukan perlawanan terhadap program-program yang akan dilakukan oleh pemerintah yang notabene harus di dukungnya.

Faktor personalitas presiden dan wakil presiden berpengaruh dalam menciptakan efektivitas dan stabilitas pemerintahan. Persoalan efektivitas pemerintahan di Indonesia saat ini lebih disebabkan oleh karena disharmoni hubungan antara lembaga kepresidenan dengan parlemen. faktor kemampuan berkomunikasi, lobby, dan menjaga dan mempertahankan dukungan dari parlemen oleh presiden sangat penting dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil.

Meskipun demikian permasalahan efektifitas dan stabilitas pemerintah di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh personalitas pejabat presiden dan wakil presiden saja. Efektivitas dan stabilitas pemerintah juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang dilaksanakan.Sistem presidensial dan sistem multi partai dengan jumlah partai yang terlalu banyak ternyata merupakan faktor lain yang krusial. Observasi dan kajian yang dilakukan oleh Mainwaring (2008) menunujukkan bahwa sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai yang dilaksanakan di beberapa negara gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal. Amerika Serikat berhasil menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil karena menggunakan kombinasi sistem presidensial dan dwi – partai.

Di Indonesia dengan masyarakat yang sangat heterogen tidak mungkin akan dibawa menuju sistem dwi – partai. Maka solusi yang ditawarkan adalah jalan tengah antara kombinasi sistem presidensial dengan multi partai yang sederhana. Multi sistem partai yang sederhana harus didukung oleh koalisi partai yang ramping, disiplin dan mengikat. Untuk menyederhanakan partai politik yang ada di Indonesia terdapat dua mekanisme yang dapat diimplementasikan secara bersamaan yaitu meningkatkan ambang batas (PT) dan memperkecil district magnitude.***

 

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang