TangselMedia.com – Indonesia memang bukanlah negara agama, akan tetapi sejak kemerdekaan, dulu disepakati bahwasanya Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi yang berideologikan Pancasila. Ini bermakna, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun keberadaan dan hak hidup agama-agama lain juga diakui, dan mendapat tempat yang sejajar. Maka dari itu, semua ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku tetap merujuk pada hukum nasional.
Banyaknya perbedaan di Indonesia, dimulai dari aspek budaya, adat istiadat dan khususnya aspek keagamaan, ini benar-benar menjadi suatu kekuataan sosial yang berlangsung secara turun-temurun. Berbeda agama dan keyakinan harus dipandang sebagai rahmat Allah Yang Maha Kuasa, karena masalah itu bersifat sangat fitriyah dan kodratiyah.
Itulah sebabnya, dalam satu rumpun keluarga di negeri ini, bisa saja diisi oleh orang-orang yang berbeda agama, dan di Indonesia tidak menegakkan sistem diskriminasi terhadap suatu golongan. Terbentuknya konsep kerukunan hidup dan toleransi intra dan inter-agama di Indonesia, itu merupakan suatu wujud mempersatukan hubungan antara suatu golongan terhadap golongan yang lain.
Selama bulan suci Ramadhan, praktik-praktik dalam mewujudkan sikap toleransi di dalam kehidupan sehari-hari, benar-benar menjadi ladang sosial yang terus berbuah. Oleh karenanya sikap bertoleransi terhadap antar golongan umat beragama, sangat diutamakan untuk menuju kerukunan dalam bertetangga dan bernegara terhadap sesama maupun berbeda golongan.
Selain toleransi selama ramadhan ini, dianjurkan kita sebagai umat beragama, untuk saling menghormati dan menghargai baik orang yang berpuasa maupun orang yang tidak berpuasa. Orang-orang yang tak berpuasa, entah karena perbedaan agama maupun halangan-halangan lainnya, haruslah menunjukkan sikap toleransi dan tenggang rasa pada orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Persoalan mendasar yang sangat dirasakan dalam sikap bertoleransi ini terkait urusan makan, minum dan merokok di siang hari seperti pada bulan puasa ramadhan ini. Bisa dimaklumi apabila pihak pemerintah di hampir setiap daerah memberlakukan aturan larangan beroperasinya rumah makan dan restoran secara terbuka. Akibat nya, para pemilik rumah makan dan restauran yang sudah menjadi mata pencaharian sehari-hari cenderung memilih cara sembunyi-sembunyi menjalankan bisnis kulinernya.
Inilah yang kemudian di gelai publik sebagai warung makan remang-remang. Sebab, pandangan dari depan, rumah makan dan restauran itu seolah-olah tertutup tapi di bagian dalam tetap beroperasi seperti biasa.
Konyolnya, konsumen yang melakukan praktik makan, minum dan merokok di rumah makan dan restoran, itu justru mayoritas dari kalangan umat Islam sendiri. Inilah cerminan kualitas iman sebagian penganut Islam yang justru tega membohongi diri sendiri, dan seperti tak memiliki lagi perasaan malu pada Allah Yang Maha Kuasa yang semestinya ditaati segala perintah dan laranganNya.
Di negara-negara lain termasuk Malaysia yang menyatakan diri sebagai negara Islam, justru pluralitas warga yang beragam agama, itu memberlakukan praktik hukum Islam secara progresif. Rumah makan dan restoran termasuk tempat hiburan, itu dibiarkan beroperasi seperti biasa tanpa ada larangan atau pembatasan. Namun, sikap tegas aparat pemerintah dan keamanan semata-mata ditujukan bagi umat Islam yang hendak memasuki rumah makan, restauran dan tempat hiburan tanpa basa-basi.
Bagi umat Islam yang tertangkap tangan melanggar aturan agama Islam itu, justru dikenakan hukuman. Terbukti cara-cara penegakan hukum dan disiplin begitu cukup ampuh, dan dalam rentang waktu bertahun-tahun secara nyata memunculkan sikap malu bila melanggar aturan agama Islam.