Kasus Floyd: Rasialisme atau Jebakan Akal?

Kasus Floyd: Rasialisme atau Jebakan Akal?

 

Oleh: Wisjnumurti B. Permadi, SE, MBA*

 

Kasus George Floyd meninggal dunia, mendadak menjadi viral. Kekejaman sang polisi berkulit putih saat menekan leher seorang berkulit hitam dengan dengkul kakinya begitu menggeramkan hati semua orang. Tak ayal lagi, muncullah begitu banyak komentar, kecaman, hujatan dan tudingan dari berbagai penjuru dunia. Seketika kata kunci yang bertebaran adalah rasis. Kenapa? Sang polisi, Derek Chauvin berkulit putih, sedangkan sang korban, George Floyd berkulit hitam. Cukup kan? Jelas sang polisi adalah rasialis!

Pandangan seperti di atas, mengingatkan saya pada kekhawatiran saat menjelang keberangkatan saya ke negeri paman Sam untuk penugasan kantor. Penugasan ini memakan waktu 2 sampai dengan 3 tahun. Tentu saja banyak yang saya khawatirkan karena saya akan hidup di negara orang, bukan di hotel di kota besar dan besar kemungkinan akan tinggal di lingkungan kampus yang umumnya terletak di kota kecil. Walaupun ada proses adaptasi untuk menghindari culture shock, tetapi tetap saja ada kekhawatiran dalam hati. Kekhawatiran terbesar dalam hati saya adalah perlakuan tidak adil karena saya adalah pendatang dari negara ‘tidak terdengar’ bagi kebanyakan orang sana. Waktu itu (tahun 1993) dalam pikiran saya masih ada dugaan rasialisme di negara maju seperti Amerika Serikat.

Ternyata apa yang saya alami selama tiga tahun disana, sama sekali tidak seperti yang saya khawatirkan. Tidak ada masalah culture shock, tidak ada perlakuan rasial, tidak juga ada pelecehan dalam bentuk apapun. Teman kuliah, dosen, tetangga, sampai para rekan kerja, semua memberikan perlakuan yang sama sekali jauh dari unsur rasialisme. Jadi, apakah memang tidak ada kasus rasialisme di AS? Ya ada juga. Ada kelompok-kelompok yang tidak suka dengan pertumbuhan imigran yang semakin lama semakin banyak.

Harus diakui, banyak lapangan pekerjaan tertentu banyak dikuasai oleh ras-ras tertentu, seperti Cina, India, dan latin. Tetapi proses globalisasi kependudukan seperti ini, tidak hanya terjadi di AS. Proses ini terjadi di seluruh dunia. Proses ini adalah konsekuensi logis dari kecenderungan keterbukaan dunia yang telah berlangsung sejak 1980an. Amerika Serikat, bahkan, negara yang paling getol dalam upaya percepatannya.

Kenyataannya rasialisme tetap ada dan mungkin lebih banyak dari yang saya perkirakan. Tetapi yang perlu kita maklumi juga bahwa banyak isu rasialisme ini dimanfaatkan sebagai alasan dalam banyak kasus. Banyak kasus terkenal, menggunakan isu rasialisme untuk menutupi kasus yang sejatinya kriminal biasa, tetapi ditutupi alasan rasialisme sebagai pembenaran.

Contoh yang paling banyak dicermati adalah kasus OJ Simpson, seorang pahlawan American Football yang mendapatkan tuduhan pembunuhan terhadap istrinya dan pacarnya di rumahnya sendiri. Setelah peristiwa pembunuhan tersebut OJ (begitu panggilan akrabnya) kabur dengan mobil Bronconya. Kejadian kejar mengejar OJ dengan sejumlah mobil polisi ini menjadi acara langsung TV yang paling banyak ditonton di AS. Ya peristiwa kejar mengejar ini disiarkan oleh seluruh TV nasional. Singkat cerita, setelah ditangkap dan di proses peradilan, OJ Simpson dinyatakan bebas murni. Tim pembelanya, yang kemudian menjadi pengacara paling terkenal di seantero Amerika Serikat karena kasus ini, menggunakan isu rasialisme dalam pembelaannya. Jadi apa hubungannya, isu rasialisme masih menjadi isu yang sensitif, yang sangat seksi, yang selalu membangkitkan emosi dan sentimen bagi banyak orang. Sayangnya begitu tebalnya rasa sentimen pada isu rasialisme ini, sehingga sering melunturkan pandangan orang pada kebenaran yang terjadi. Orang lebih peka pada isu ini, tidak peduli pada apa yang sesungguhnya terjadi.

Cara lain untuk menjelaskan masalah rasialisme yang diangkat karena kasus George Floyd adalah sebenarnya meledaknya kekhawatiran masyarakat luas tentang terjadinya rasialisme yang dipicu oleh kasus ini. Apakah kasus kematian George Floyd benar-benar karena sentimen rasialis dari sang polisi? Tidak ada lagi yang peduli. Berita penyelidikan kasus ini terkubur oleh berita unjuk rasa yang sangat sentimental di berbagai penjuru dunia. Kebenaran sudah tidak penting lagi. Bara kekhawatiran akan rasialisme terguyur oleh kilatan api kematian George Floyd.

Hal ini, kemudian mengingatkan saya pada berbagai kejadian yang sangat aktual kita rasakan di negeri kita yang tercinta. Perkembangan terakhir peta perpolitikan kita membawa iklim peperangan politik yang sangat intens menciptakan dua kubu di banyak laga. Pilpres, pilkada, kasus penistaan agama, kasus Habib yang tersandera, dan bahkan kasus penanganan Covid-19. Dan sepertinya akan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.

Baca Juga  Plaza Ciputat, Apakah Masih Layak?

Apa yang terjadi? Sentimen yang sama terjadi bagaikan menjebak pikiran orang pada isu yang sama. Kalau di Amerika Serikat orang banyak terjebak atau menjebakkan pikirannya pada isu rasialisme, di negara kita, banyak orang yang menjebakkan pikirannya pada frame kubu masing-masing. Contoh yang paling aktual adalah pada kasus kebijakan pemerintah cq Kementerian Agama tentang pembatalan keberangkatan Haji tahun 2020. Sontak satu kubu bereaksi keras bahwa Menteri Agama dianggap melanggar hukum dan merugikan kepentingan masyarakat banyak. Banyak kelompok mengeluarkan komentar dengan nada yang sama. Ditambah lagi dengan tudingan bahwa Kementerian Agama akan menggunakan dana haji untuk kepentingan menangani bencana pandemi covid-19 dan juga untuk mendongkrak nilai tukar mata uang Rupiah terhadap US Dollar.

Kalau kita sempat membaca cuitan banyak orang di media sosial Twitter, pembangunan opini ini begitu maraknya sehingga menjadi salah satu trending topic. Dengan mudah kita akan menemukan banyak orang meyakini kebenaran tuduhan-tuduhan tersebut. Walaupun pihak pemerintah sudah dengan segera dan dengan susah payah melakukan klarifikasi mengenai dasar pertimbangan pengambilan kebijakan tersebut. Namun faktanya yang terjadi, klarifikasi dari Kementerian Agama dan juga klarifikasi dari BPIH tidak dianggap sebagai kebenaran, tidak dianggap ada. Kenapa. Karena kebanyakan kita telah menjebakkan pikiran kita pada bingkai kebenaran yang kita patok sendiri. Apa yang disampaikan oleh seseorang yang berasal dari kubu sendiri adalah kebenaran, sementara yang disampaikan oleh seseorang dari kubu lawan adalah kebohongan dan rekayasa.

Anehnya, sikap seperti ini tidak hanya terjadi pada orang-orang yang berpendidikan rendah. Hal ini juga lebih banyak terjadi pada orang-orang dengan pendidikan tinggi. Bahkan orang dengan pendidikan lebih rendah justru lebih rasional. Rasionalisasi mereka adalah pada kebutuhan yang lebih mendasar, yaitu kebutuhan pangan, papan dan sandang. Kasus-kasus seperti diatas berada diluar jangkauan pikirannya, diluar jangkauan kebutuhannya. Mereka hanya akan berpihak pada pemenuhan kebutuhannya, sebagaimana mereka berpihak pada yang mendukung penolakan kenaikan iuran BPJS, sebagaimana juga mereka akan berpihak pada yang mendukung pembagian dana bagi penduduk miskin. Sungguh memprihatinkan saat kita sadar bahwa orang-orang yang terjebak atau menjebakkan pikirannya pada bingkai opini sepihak, adalah orang-orang dengan pendidikan tinggi. Apakah orang-orang ini tidak mampu berpikir rasional? Sama sekali tidak benar kalau orang-orang ini dinyatakan tidak mampu berpikir rasional.

Pertanyaan ini tidak untuk menuding pada satu kubu. Kasus yang sejenis saat seorang ustad ternama menjelaskan dalam tauziahnya tentang malaikat yang tidak berkenan masuk ke dalam rumah yang terdapat patungnya.  Sontak tanpa banyak upaya mencari penjelasan, banyak orang yang menuding sang Ustad sebagai Ustad pesanan, Ustad anti Pancasila, anti NKRI. Opini ini mengalir deras bagai gelombang tsunami yang menenggelamkan pikiran sehat banyak orang. Banyak contoh lain, seperti upaya keras Gubernur DKI dalam mencari solusi dalam menangani akibat pandemi covid-19 yang sangat kontradiktif.

Mempertimbangkan terlalu banyak pada masalah kesehatan masyarakat akan mengorbankan perekonomian, mengutamakan masalah ekonomi akan menimbulkan masalah pada melonjaknya penyebaran covid-19. Dua-duanya menempatkan masyarakat banyak pada kesulitan. Kesulitan yang sama juga dihadapi Presiden Jokowi pada skala nasional. Tetapi kenapa kubu ini selalu memojokkan sang gubernur pada setiap kebijakannya? Benar- benar pada setiap kebijakannya. Bahkan karena beliau banyak memberikan penjelasan pada publik dengan melakukan press conference, dituding beliau terlalu sering melakukan presscon? Bukankah memang tugas kepala daerah untuk  memberi penjelasan pada publik  setiap perkembangan terakhir kasus covid-19?

Kebenaran, sekali lagi, tidak lagi penting. Dahaga akan sentimen emosional lebih terpenuhi oleh guyuran berita semu. Dahaga yang telah menjebak akal kita pada lubang kesia-siaan. Agaknya pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus diatas adalah menghindar dari jebakan akal kita sendiri. Jangan biarkan emosi sentimental kita menguasai akal kita. Bukankah kemuliaan manusia itu terletak pada akalnya?

 

*Penulis adalah Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang