MAHASISWA BERPARTISIPASI, PEMILU PUNYA EKSISTENSI
Oleh: Lia Wildatus Sholihah*
Satu hal yang selalu mengancam “kegagalan” Pemilu di Indonesia, baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah, yakni rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Apalagi pasca reformasi, trend ketiga Pemilu tersebut meningkatnya angka Golput (golongan putih) dan menurunnya angka kesertaan rakyat dalam memberikan suara, sehingga di beberapa daerah, Pemilu sempat dimenangkan Golput. Padahal ruh tingkat legitimasi kekuasaan pada negara demokrasi adalah partisipasi rakyat.
Legitimasi yuridis bisa saja terpenuhi karena semua tahapan Pemilu merujuk pada peraturan perundang-undangan; Legitimasi prosedural pun terpenuhi karena Pemilu diselenggarakan tepat waktu dan sesuai prosedur kepemiluan, tetapi terdapat yang lebih esensial, legitimasi sosiologis. Tingkat legitimasi ini dibuktikan dengan kesertaan rakyat dalam Pemilu yang berimbas pada legitimasi kekuasaan. Sebuah pemerintahan dalam negara demokrasi dapat dikatakan legitimate jika mendapat dukungan seluruh rakyat, atau setidaknya mayoritas rakyat. Semua negara demokrasi memimpikan hal itu memasuki pase demokrasi partisipatif.
Kehadiran demokrasi sebagai salah satu sistem politik dan pemerintahan dipandang banyak ilmuwan dan negarawan sebagai jalan yang dapat membawa masyarakat pada kondisi lebih baik. Demokrasi sebagai salah satu solusi yang dianggap paling jitu untuk merawat keberagaman dan menciptakan keharmonisan. Di sejumlah negara, demokrasi telah berhasil menghilangkan konflik dalam masyarakat karena menekankan pentingnya menghargai dan menghormati individu dan berbagai perbedaan dalam masyarakat.
Pemilu merupakan jalan, bukan tujuan demokrasi. Salah satu alasan utama demokrasi dipilih sebagai pilar penyelenggaraan negara Indonesia adalah karena demokrasi menjamin hak asasi warga negara, menjamin kebebasan pribadi yang luas, memberikan kesempatan yang seluas- luasnya bagi warga negara untuk menentukan nasibnya sendiri, dan menjamin persamaan hak politik terhadap warga Negara. Oleh karena itu, UUD NKRI 1945 komit dan konsisten terhadap prinsip-prinsip demokrasi, termasuk jaminan hak politik warga negara sebagaimana tersurat langsung dalam beberapa pasal tentang Hak Asasi Manusia.
Salah satu upaya ril dan menjanjikan keberhasilan guna mendongkrak tingkat partisipasi rakyat dalam Pemilu adalah menguatkan keberdayaan mahasiswa. Tentu tidak dari sisi keterlibatan mahasiswa dalam melakukan pemilihan di bilik suara karena jumlah mahasiswa tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pemilih. Namun, yang penting dari keberdayaan mahasiswa adalah optimalisasi kualitas kecerdasan karakteristik akademik mereka dengan mengikutsertakan dalam berbagai upaya literasi politik bagi masyarakat.
Mahasiswa harus terlibat dalam mendorong peningkatan kesadaran politik melalui pendidikan politik. Pada era ini pendidikan menjadi sangat urgen karena political branding kekinian pada perspektif rakyat cenderung buruk. Hal itu selain karena pengalaman pragmatis yang dihadapi rakyat pada implementasi politik praktis, karena juga tidak munculnya para pemimpin nasional kekinian yang dapat dijadikan contoh baik. Indonesia tengah mengalami krisis negarawan yang cenderung memaknai politik sebagai perebutan kekuasaan, pengutamaan kepentingan kelompok, ketimbang kepentingan dan kebaikan bersama. Kue kekuasaan selalu menjadi bancakan kelompok pemenang, bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi atau kroni pemenang politik. Hal itulah pesan politik yang selama ini diterima rakyat, sehingga wajar jika political branding di mata rakyat buruk.
Partisipasi aktif mahasiswa yang berkarakteristik akademis ideal dan kritis selaras dengan profil tugas pengawasan Pemilu: energik, cerdas, cermat, kritis, analisis, jujur, dan adil merupakan kemampuan yang dibutuhkan dalam pengawasan Pemilu. Semua itu tersedia pada diri mahasiswa. Di sisi lain sebagian rakyat memiliki batas toleransi terhadap pemikiran tentang kebanyakan pendukung dan pengurus Partai Politik yang sudah banyak menghabiskan energi pada masa kampanye; Energi terakhir mereka tumpahkan pada saat pencoblosan. Setelah itu, mereka merasa selesai karena telah memberikan suara sesuai kehendaknya. Padahal, masih menganga kondisi rentan yang dapat mengundang kecurangan. Pihak manapun pada pasca pencoblosanlah dapat menyelamatkan suara; Mereka pun dapat menggagas strategi “culas” untuk menambah atau menggelembungkan suara. Bermain mata dengan oknum KPPS, PPS, PPK, dan KPU merupakan peluang besar untuk memutarbalikkan peraihan suara.
Mahasiswa merupakan bagian dari kelompok masyarakat strategis. Kendati secara kuantitatif jumlahnya sedikit, tetapi karakteristik akademis mahasiswa berpotensi besar untuk mendorong kesuksesan pemilu. Momentum mahasiswa sebagai generasi muda untuk berkontribusi secara nyata membangun bangsa, Mahasiswa dapat menjadi subjek politik yang memiliki peranan penting dalam proses penyelenggaraan dan pengawasan pemilu sehingga pemilu yang berintegritas akan terjaga eksistensinya.***
*Penulis adalah mahasiswi Prodi Teknik Kimia Universitas Pamulang