Bersedia Bergelantungan Di Tebing Demi Saluran Air

Bersedia Bergelantungan Di Tebing Demi Saluran Air
Warga korban gempa bumi menuangkan air ke wadah terbuat dari terpal di Dusun Menggala Timur, Desa Pemenang Barat, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Rabu (24/10/2018). Sejumlah warga korban gempa bumi di daerah tersebut mengaku membuat hunian sementara mereka secara swadaya yang dibangun di lahan pertanian miliknya sambil menunggu bantuan pembangunan rumah yang dijanjikan pemerintah. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/wsj.)

TangselMedia – Tebing setinggi sekitar 300 meter itu, mau tidak mau harus dituruni dengan teknik tersendiri yang hanya dimiliki kalangan pemanjat tebing saja, sembari ancaman angin besar dan longsoran terus mengintip. Salah melangkah jurang sudah siap menyambut di bawah, demi menyambungkan pipa air setelah pipa sebelumnya hancur terkena gempa bumi.

Demikian dijalaskan Alip Sutamanggala, relawan dari Yayasan Palawa Indonesia (YPI) yang juga anggota Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Palawa Universitas Padjadjaran yang hampir dua bulan penuh berjibaku bersama warga menyambungkan kembali pipanisasi di Dusun Senaru, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat yang merupakan jalur pendakian ke Gunung Rinjani pasca musibah bencana gempa tektonik yang melanda wilayah tersebut.

Semula dia seorang diri ke Dusun Senaru mewakili Yayasan Palawa Indonesia (YPI) dan Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Palawa Unpad untuk mendata permasalahan yang ada di daerah tersebut pada 2 September 2018, kemudian diketahui permasalahan utama pasca gempa terletak pada tiadanya air. Saat tiba di dusun itu, warga mengeluhkan permasalahan air tersebut hingga harus membeli kebutuhan utama itu.

Diapun berembuk dengan tokoh masyarakat bersama warga untuk mengatasi kendala tersebut, setelah diketahui ternyata pokok utamanya adalah dua sumber mata air yang selama ini mengairi dusun di daerah tersebut, yaitu, Batara Guru dan Loko Prabu sudah luluh lantak di terjang gempa termasuk pipanya. “Saat itu, saya berpikiran masalah air adalah paling utama. Kalau air sudah teratasi maka semua persoalan pun akan diatasi secara bijaksana,” ujarnya yang juga pernah menjadi relawan saat musibah Tsunami Aceh pada 2004 silam.

Setelah mendapatkan permasalahan itu, dia pun bersama warga mengecek kondisi sumber mata air terakhir dengan menapaki jalan setapak sembari khawatir akan terjadi longsoran akibat sesekali gempa susulan di daerah itu, sehingga setiap langkah kaki harus tetap waspada. Semula yang memungkinkan untuk pipanisasi ulang itu di sumber mata air Batrara Guru yang berjarak sekitar dua kilometer sampai ke penampungan Dusun Bataku.
Semula penampungan air dari Batara Guru itu di Dusun Senaru yang dikenalnya juga dusun adat daerah itu, namun karena posisinya yang telalu tinggi akhirnya diputuskan penampungannya ke Dusun Bataku yang posisinya lebih rendah, katanya yang rela meninggalkan istri dan anak-anaknya di Purwakarta, Jawa Barat.

Persoalan lainnya adalah bagaimana mencari pipa yang tentunya membutuhkan ratusan batang, kemudian dia melaporkan ke rekan-rekannya di Bandung khususnya YPI dan PMPA Palawa Unpad yang sudah melakukan pengumpulan donasi melalui Lombok Peduli. “Alhamdulillah mendapatkan bantuan itu seperti dari anggota PMPA Palawa Unpad yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri, musisi Bandung, Pemkot Bandung, alumni Smanda Bogor, alumni SMPN 4 Bandung, Assunah dan Bali Mengaji, Mapala FE Unram dan Mapala Rinjani Unram, alumni Hukum 86 Unpad, sampai Sebumi Jakarta,” ujarnya.

Untuk memasang pipa itu memerlukan waktu berminggu-minggu bersama-sama warga, serta aparat kepolisian dan TNI yang turut membantu juga. Medan yang ekstrem menjadi tantangan tersendiri saat memasang pipa tersebut. “Memasang pipa merupakan yang terberat,” ujarnya pendek. Setiap memasang pipa, konsentrasi warga harus tetap memperhatikan kondisi di atas lintasannya mengingat tanahnya yang masih rapuh hingga tidak jarang ada bebatuan yang menggelinding ke bawah. Namun pekerjaan itu, mau tidak mau harus diselesaikan demi kebutuhan air bagi warga setempat teratasi.

Terkadang pipa yang diperlukan kurang hingga harus menunggu dahulu adanya donasi, setelah mendapatkan dana dirinya bersama warga harus belanja terlebih dahulu. “Kekurangan pipa yang menjadi penghambat, misalnya yang harus terpasang sekian meter namun pipa kurang, terpaksa harus terhenti pengerjaannya,” katanya.

Akhirnya pemasangan pipa dari sumber mata air Batara Guru dapat terselesaikan hingga bisa mengatasi permasalahan air. Namun, muncul permintaan warga juga untuk memasang pipa dari sumber mata air Loko Prabu yang semula menjadi sumber air utama. “Sumber mata air Batara Guru selama ini hanya alternatif saja,” katanya.

Baca Juga  Pengakuan Pelaku Mutilasi Perempuan Di Pasar Besar Malang Menggunakan Gunting

Dia bersama warga kembali mengecek kondisi mata air Loko Prabu, kali ini medannya lebih berat mengingat posisinya yang di atas sumber mata air Batara Guru. Hasilnya, bak sumber mata air Loko Prabu itu sudah tertutup longsoran, hingga memerlukan teknik tersendiri untuk dapat memasang pipanisasi.

Untuk sumber mata air Loko Prabu ke Dusun Senaru berjarak sekitar tiga kilometer. Jaraknya lumayan jauh sehingga membutuhkan jumlah pipa yang banyak lagi. Upaya pengumpulan donasi pun dilakukan kembali, dia terus berkoordinasi dan berkreatifitas untuk mencari kekurangan akan pipa tersebut. “Alhamdulillah warga selalu kompak dan mau gotong royong untuk memikirkan pipanisasi. Membuat saya tambah bersemangat untuk bekerja,” katanya.

Dari hasil survei pertama sumber mata air Loko Prabu, diketahui ada enam titik tebing bantuan andesit berusia muda yang harus dilalui oleh pipa itu yang dalamnya mencapai 300 meter. “Ada satu titik yang harus harus dipasang 4 batang pipa dengan setiap batangnya memiliki panjang 10 meter. Jadi di satu titip kita harus memasang sejauh 40 meter,” katanya.

Kendala tebing itu, Alip Sutamanggala harus berpikir keras lagi, kemudian dia meminta bantuan kepada senior PMPA Palawa Unpad di Bandung yang memiliki spesialisasi di panjat tebing sekaligus meminta membawa seperangkat alat panjat tebing. Melihat tingginya tebing sampai 300 meter, tali karnmantel statis dari Bandung hanya 150 meter hingga masih kurang 150 meter lagi. Sehingga dirinya meminta bantuan dari rekan-rekan Mapala Rinjani Unram, Mapala FE Unram dan Komunitas Pendaki Gunung Republik Indonesia termasuk alat-alatnya. “Akhirnya berhasil terkumpulkan 300 meter tali sesuai kebutuhan,” sambungnya.

Ancaman longsor

Pemasangan pipa di tebing enam titik, merupakan paling krusial dan menegangkan mengingat harus tetap memperhatikan kondisi cuaca karena jika angin besar mau tidak mau harus dihentikan dahulu karena berbahaya dalam pemasangan instalasi itu. Belum lagi dengan ancaman longsor. Dia bersama timnya memutuskan pemasangan pipa itu menggunakan ilmu panjat tebing yakni Single Rope Technique (SRT) atau dikenal dengan lintasan satu tali ditambah satu set alat SRT. Dengan memasang tambatan di pepohonan di atas tebing hingga tali menjulur ke bawah. Kemudian satu persatu pemanjat turun ke bawah dan pipa yang sudah diikatkan di tali diturunkan ke bawah.

Pipa itu dipasang di ketinggian 150 meter yang berarti 150 di bawahnya jurang menganga dan siap menelan kalau salah seorang terjatuh. Memang diperlukan ekstra hati-hati mengingat bebatuannya jenis andesit berusia muda hingga rapuh yang membuat pijakan kaki harus diperhatikan. “Sempat down juga melihat bebatuan yang rapuh, khawatir saja ada yang lepas,” katanya.

Apalagi angin yang cukup besar, membuat ngeri untuk melanjutkan pekerjaan. Selain itu, sesekali masih terdengar longsoran dari atas gunung. “Kita takut saja, tiba-tiba tebing di atasnya ada yang longsor,” katanya. Paling tidak membutuhkan waktu selama satu pekan untuk memasang pipa di enam titik itu. “Sekarang ini, persoalan air sudah bisa teratasi di Dusun Senaru dan Dusun Batuko,” katanya.

Bagi Alip Sutamanggala menjadi relawan untuk membantu korban bencana adalah suatu keharusan bagi siapapun dan tidak mengenal imbalan apapun.  “Pas waktu mendengar gempa di Lombok, saya menawarkan diri untuk berangkat ke Lombok guna membantu saudara-saudara kita di sana,” ujarnya.
Setelah meminta izin kepada istri dan anaknya, diapun langsung berangkat menuju Pulau Lombok. “Ini bentuk kepedulian sesama anak bangsa,” sambungnya.

Dia mengaku dirinya menjadi relawan itu tidak terlepas dari didikan saat masih aktif di PMPA Palawa Unpad. “Kita di PMPA Palawa Unpad itu diajarkan juga soal kebencanaan, tanggap darurat sampai sosial pedesaan, itu menjadi ketrampilan utama selain tetap beraktifitas di dunia kegiatan alam bebas,” ujarnya. Dia pun pernah menjadi relawan yang bergabung dengan organisasi Sokola saat musibah tsunami Aceh pada 2004 silam