TangselMedia – Pada hari Senin (29/10/2018) pagi, media-media nasional mendadak mengabarkan hilangnya sebuah pesawat terbang komersial milik maskapai Lion Air dengan nomor registrasi JT 610 pada pukul 06.33 WIB di sekitar perairan Utara Karawang, Jawa Barat.
Tidak perlu waktu lama bagi otoritas terkait dan media untuk menyimpulkan bahwa pesawat tersebut jatuh, dengan membawa 189 orang di dalamnya, setelah 13 menit pesawat bertipe 737 Max 8 itu lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Dugaan tersebut pun diperkuat dengan adanya laporan dari Pertamina yang menemukan jejak serpihan dan gumpalan bahan bakar di permukaan laut, yang tidak jauh anjungan atau rig pengeboran minyak mereka.
Proses pencarian dan evakuasi pun dilaksanakan hari itu juga yang dilaksanakan oleh Badan SAR Nasional (Basarnas) dan TNI Angkatan Laut. Evakuasi terbilang cepat, karena hanya dalam hitungan jam tim SAR berhasil menemukan serpihan pesawat, barang-barang pribadi dan bagian-bagian tubuh penumpang sebanyak 10 kantong. Kesigapan dan kecepatan tim SAR dalam operasi ini lebih cepat bila dibandingkan dengan misi serupa pada peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia di Selat Karimata empat tahun silam.
Sebagai catatan, saat itu tim SAR gabungan baru berhasil menemukan objek bagian pesawat pada hari kedua pencarian.
Selain kesigapan tim SAR, cepatnya proses evakuasi juga tidak lepas dari faktor alam yang mendukung operasi yang melibatkan lebih dari 850 personel gabungan itu. Di lokasi kejadian, kedalamannya hanya sekitar 30-35 meter dengan kontur yang nyaris landai sehingga lebih mudah dideteksi oleh perangkat pemindai bawah laut.
Cepatnya respon dan hasil yang diperoleh tim pencari bahkan menjadi perbincangan manis di sejumlah media internasional. Hal itu jelas berbeda dengan situasi yang dialami Malaysia Airlines MH370 yang raib di sekitar Samudera Hindia pada Maret 2014 dan belum diketahui nasib pastinya hingga sekarang. Atau peristiwa Air France 447 yang memerlukan waktu hampir dua tahun untuk menemukan lokasi badan pesawat di dasar Samudera Atlantik.
Selain itu, kondisi cuaca sejak hari pertama hingga memasuki hari ke tujuh pencarian pun sangat baik sehingga mendukung operasi pencarian di permukaan dan penyelaman bawah laut.
Temukan Kendala
Selama operasi pencarian dan evakuasi ini, tim SAR gabungan juga tidak luput dari kendala. Tim SAR pada hari pertama pencarian terkendala dengan pemetaan bawah laut untuk mencari titik pasti lokasi badan pesawat yang jatuh di sekitar perairan Karawang tersebut. Hal itu disampaikan Kepala Kantor SAR DKI Jakarta Hendra Sudirman saat ditanya evaluasi pada hari pertama pencarian.
Mengingat pentingnya perangkat tersebut, maka Basarnas pada malam hari pun mengirimkan perangkat geosurvei, yang disusul dengan perangkat sonar pada keesokan paginya guna melengkapi pencarian badan pesawat. Selain itu, penentuan lokasi pasti jatuhnya pesawat juga sempat terhambat karena belum ditemukannya sinyal “ping” yang seharusnya dipancarkan kotak hitam pesawat ketika mengalami kecelakaan.
Oleh karena itu, pencarian oleh tim gabungan dilakukan di sekitar wilayah yang menjadi titik hilang atau “lost contact” pesawat yang baru dioperasikan pada bulan Agustus tersebut. Proses pun berjalan, namun kendala lain pun ditemukan.
Saat tim SAR gabungan berhasil mendeteksi bunyi ping dari kotak hitam pesawat, kapal-kapal pencari serta Remote Operating Vehicle (ROV) yang dikerahkan untuk mengamati dasar laut bergeser posisinya akibat arus laut yang cukup kuat. Untuk menyiasati ini, seharusnya kapal melego jangkar namun tidak bisa dilakukan mengingat lokasi perairan yang terdapat banyak pipa minyak dan gas milik Pertamina.
Jika lego jangkar dilakukan tanpa koordinasi, maka dikhawatirkan akan menghantam pipa dan pecah, sehingga akan menimbulkan masalah baru yang tentu tidak diharapkan. Selesai dengan kendala tersebut, masih ada satu lagi yang menghadang tim SAR gabungan. Ratusan penyelam yang berusaha mengangkat bagian pesawat dan jenazah dari dasar laut harus menghadapi buruknya daya pandang karena lumpur.
Meski tidak terlalu pekat, sedimen lumpur yang ketebalannya sekitar setengah hingga satu meter itu mudah terangkat jika penyelam menyentuh atau mengambil serpihan. Menyikapi hal ini, Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) SAR Kolonel Laut Isswarto meminta tim penyelam untuk tetap hati-hati dalam menjalankan tugas. Penyelaman harus dilakukan dengan presisi, baik dari segi tindakan maupun waktu.
Ia berharap demikian karena jika terlalu lama, dikhawatirkan sebagian besar puing atau jenazah korban akan terkubur lumpur sehingga sulit untuk ditemukan. Kinerja tim SAR gabungan Basarnas, TNI Al, Polisi Air, KPLP, hingga Ditjen Bea Cukai patut diacungi jempol. Meski menghadapi sejumlah kendala, operasi yang dijalankan menawarkan perkembangan positif setiap hari.
Selain itu, Isswarto pun berjanji untuk terus melakukan pengangkatan jenazah korban hingga waktu yang belum ditentukan dan menunggu arahan Basarnas selaku koordinator utama operasi ini.