Islam dan Rasisme

Islam dan Rasisme

Oleh : Deni Darmawan*

 

Baru-baru ini kasus George Flyod di Minneapolis, Amerika Serikat, menjadi perhatian dunia. Beritanya tidak kalah heboh dengan Covid-19. Amerika yang pernah mengalami tingkat tertinggi penularan virus itu. Namun saat mencuat kasus Flyod, aturan sosial distancing diabaikan. Hingga 6 hari berlalu arus gelombang demo protes terjadi di 40 kota Amerika Serikat. Bahkan di hari ke-3 tentara diturunkan ke Minneapolis, sebab polisi sudah tidak mampu meredakan demonstrasi. Padahal, sebelumnya AS mempersoalkan demo di Hongkong dihadapi oleh Tentara.

Rasisme di negeri Paman Sam itu masih meninggalkan kisah kelam hingga saat ini. Flyod merupakan warga Minneapolis berkulit hitam keturunan Afro-Amerika. Bagi Flyod, 5 tahun tinggal di Minneapolis seperti rumah sendiri baginya. Bermula Flyod ingin membeli rokok mentol dengan uang 20 dolar, pemilik toko rokok mentol lantas menghubungi 911 karena uang yang diberikannya palsu. Akhirnya 4 polisi datang menghampiri mobil Floyd dan rekannya. Salah satu polisi bernama Derek Chauvin yang kemudian memborgol Flyod, karena dianggap melakukan perlawanan dengan tangan kosong alias tak bersenjata.

Hingga akhirnya Chauvin menekan wajah Flyod ke aspal kemudian ditekan lehernya dengan lutut Chauvin hingga Flyod meregang kesakitan sambil berkata “I can’t breath” dan teringat ibunya dan memanggil ‘mama’ yang tinggal di Texas itu. 8 menit ditekan hingga Flyod tidak lagi bernafas dan denyut nadinya terhenti. Videonya kemudian direkam oleh rekannya hingga viral.

Setelah 3 hari, Derek Chauvin dan rekan polisi lainnya dipecat dan Chauvin baru dinyatakan bersalah karena dianggap melakukan pembunuhan ke Flyod. Hal Inilah yang menjadi kemarahan masyarakat Amerika terutama berkulit hitam, hingga gelombang protes sangat besar dan aksi penjarahan yang tidak mampu dicegah. Hal inilah yang membuat Trump gerah hingga tidak membenarkan demo yang disertai aksi pengrusakan dan penjarahan. Hingga Trump menurunkan tentara militer AS dan menerapkan jam malam dibeberapa kota.

Rasisme masih terasa di AS. Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi hanya sekedar slogan. Katanya negara demokrasi, namun nyatanya belum pernah AS dipimpin oleh seorang perempuan. Padahal track record Hillary Clinton lebih layak menjadi presiden dari pada Donal Trump.

Rasisme sedikit mereda, ketika Barack Obama menjadi presiden pertama AS yang berkulit hitam. Namun, sentimen terhadap kulit hitam masih juga terlihat dan terasa saat Trump terpilih menjadi presiden. Ciutan dan pidatonya menjadi konroversial dan cenderung rasis. Bukan saja terhadap kulit hitam tetapi juga umat Islam di AS.

Kematian Flyod menambah catatan kelam rasisme terhadap kulit hitam di AS. Berapa tokoh warga kulit hitam seperti Martin Luther King Jr, Malcom X, juga melakukan perjuangan terhadap hak-hak kulit hitam. Luther dalam pidato ‘I Have a Dream’ yang fenomenal itu memimpikan agar warga kulit hitam mendapat kesetaraan dan mendapat hak yang sama dengan warga kulit putih. Luther mengatakan bahwa manusia diciptakan sama.

Baca Juga  Gandeng Kaum Muda Karang Taruna Desa Pasir Ampo, Team PKM Dosen Unpam Sosialisasikan Pembuatan Pupuk Kompos dari Cangkang Telur dan Kulit Pisang.

Meski secara umum Amerika berdasarkan pada prinsip kebebasan, namun insiden kebencian terhadap warga kulit hitam dan Islam terus bertahan dengan dalih ‘freedom of expression’ atau ‘free speech’. Tidak ada batasan antara free speech dan hate speech. Bahkan, di masyarakat Amerika senjata juga bisa diperjual belikan asal mempunyai kartu penduduk. Jadi kerap terjadi pembunuhan atau tindak kriminal dalam beberapa jam, AS menjadi negeri tidak aman. Walaupun membeli senjata dengan dalih untuk membela diri.

Kasus George Flyod ini menjadi klimaks akan kegelisahan dan ketidakpuasan atas selama ini yang terjadi. Terlebih, ketika Donald Trump menjadi presiden, rasisme semakin kuat, tidak hanya warga kulit hitam (negro) tapi juga umat Islam disana. Orang-orang berkulit hitam di AS memang mempunyai sejarah perbudakan yang panjang hingga mereka diperlakukan berbeda dengan warga kulit putih.

 

Islamic Life Way

Islam sebagai ‘Way of Life’ menjadi pedoman dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Islam mengajarkan kesetaraan, toleransi dan cinta damai. Islam tidak pernah memandang kemuliaan seseorang dari warna kulit, materi atau status. Kemuliaan seseorang dilihat dari ketakwaannya (Al-Hujurat : 13). Islam bisa diterima luas ketika pemerintahan khalifah Umar ibn Khatab hingga ke Persia, Afrika dan negeri non-Arab lainnya. Perbudakan pun dihapuskan perlahan-lahan. Dengan melepaskan budak akan mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT.

Kisah Bilal ibn Rabah patut kita teladani. Bilal adalah seorang budak berkulit hitam dari Afrika. Kekaguman Bilal terhadap Islam karena Islam tidak memandangan rasialisme, ajarannya bisa diterima karena bersifat universal. Statusnya saat menjadi budak di Mekkah, diperlakukan tidak manusiawi. Islam mengantarkan Bilal menjadi manusia yang bebas dan mulia dihadapan Allah. Bahkan tercatat sebagai manusia yang langkah terompahnya sudah terdengar di surga dan menjadi Mudzin di jaman Rosulullah SAW.

Kekaguman Malcom X terhadap Islam ketika pergi haji. Dari berbagai negara, baik berkulit hitam atau putih, yang kaya atau miskin, bangsawan atau trakyat biasa semua sama dihadapan Tuhan. Semua memakai pakaian ihram. Tidak dibeda-bedakan. Menurutnya, Islam menjadi solusi bagi masalah rasisme.

Indonesia harus belajar dari kasus Floyd, mengingat negeri nusantara dari berbagai etnis dan agama. Semua warna kulit semua ada di Indonesia. Penguatan nilai-nilai pancasila yang sejalan dengan Islam menjadi hal yang fundamental dan menjadi solusi dari segala permasalahan yang ada. Diharapkan Indonesia menjadi ‘row model’ bagi negara lain dalam menangani hal rasisme. Semoga.***

 

*Dosen Agama Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang Tangerang Selatan dan Ketua Web Keagamaaan Unpam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *