Limbah Batu Bara, Tidak Bahaya?

Sosial Budaya1234 Views

LIMBAH BATU BARA, TIDAK BAHAYA?

Oleh : Eka Puteri Ramadhanti*

 

Lingkungan adalah sebuah aset dimana kita semua harus menjaga kelestariannya agar tidak rusak. Dengan menjaga lingkungan, maka terciptanya sebuah lingkungan sehat yang terhindarkan dari segala penyebab kondisi gangguan kesehatan seperti; tempat yang dipenuhi sampah, polusi, limbah pabrik dan lain sebagainya. Menjaga kebersihan lingkungan sangatlah penting karena dengan menjaga kebersihan lingkungan dapat menjamin anggota keluarga hidup sehat dan terhindar dari berbagai penyakit dengan demikian maka lingkungan itulah yang disebut lingkungan sehat.

Maka dengan itu, demi terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat tentunya menjadi tanggung jawab kita semua, baik masyarakat biasa, pengusaha, hingga pemerintah. Dengan adanya kerjasama yang baik, maka akan terwujudkan tujuan tersebut.

Namun, sepertinya tidak demikian. Sejak keluarnya kebijakan Presiden Joko Widodo terkait penghapusan limbah batu bara dan limbah sawit dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menjadi sorotan publik karena dinilai berpengaruh pada lingkungan hidup.

Aturan tersebut tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

PP Nomor 22 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Berdasarkan lampiran XIV PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash (FABA).

Yang mana kebijakan tersebut menuai banyak kritikan dari berbagai pihak. Jika dilihat, limbah batu bara dapat menyebabkan dampak negatif terhadap kesehatan terutama pada masyarakat yang bekerja di bidang tambang. Dampak negatif juga dapat berpotensi pada masyarakat yang berada di sekitar pemanfaatan energi batu bara, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan tungku Industri lainnya.

Adapun limbah FABA yang merupakan limbah B3 berbahaya bisa membahayakan manusia. Limbah FABA sendiri dapat berdampak gatal pada kulit manusia, serta berbahaya terhadap organ pernapasan jika terhirup. Karena salah satu jenis limbah FABA berbentuk partikel debu yang sangat halus. Selain berdampak pada manusia, limbah dapat mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir.

Dengan adanya kebijakan tersebut, tentunya pemerintah dinilai abai terhadap lingkungan dan masyarakat. Jika melihat kebelakang, saat masih diatur saja lingkungan masih tetap banyak yang rusak akibat berbagai pelanggaran, apalagi kalau sekarang dibebaskan, bisa semakin mengancam kualitas hidup manusia.

Berbeda pendapat dengan yang lain, peneliti Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggoro Tri Mursito, mengatakan limbah dari hasil proses pembakaran yang berbentuk FABA dapat dimanfaatkan menjadi beberapa bahan baku pengembangan, salah satunya bahan baku pembuatan semen.

Baca Juga  The Importance of Literature Review in Research Writing

Selain dapat dijadikan bahan baku perekat bangunan, limbah B3 itu juga dapat menjadi campuran untuk bahan baku pembuatan pupuk urea. Maka dari itu ia menilai limbah FABA masih dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat lain.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 Kementeri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, meski limbah batu bara jenis FABA tak lagi masuk kategori B3, bukan berarti dapat dibuang sembarangan.

Menurut Rosa, jenis limbah batu bara fly ash dan bottom ash yang menggunakan sistem pembakaran chain grade stoker tidak lagi digolongkan dalam kategori limbah B3 karena limbahnya dianggap bisa bermanfaat jika diolah.

Menanggapi permasalahan diatas, tentunya penulis merasa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih jauh dari kata siap untuk diberlakukan di Indonesia. Seharusnya pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan, haruslah melihat kemampuan SDM yang ada.

Melihat FABA yang masuk kategori non limbah B3 hanya dari PLTU saja. Sementara swasta yang sudah menggunakan fasilitas pulverize coal, FABA dari pabrik mereka harus tetap memakai standard, bagaimana pengangkutan, itu harus tetap mereka lakukan dengan baik. Sementara itu, bagi industri swasta yang masih menggunakan metode pembakaran batu bara tungku, hasil pembakaran batu bara mereka masih dikategorikan limbah B3.

Dengan demikian, masihlah jauh dari kesiapan dalam berlakunya kebijakan tersebut dalam penanganan limbah batu bara ini. Seperti yang dikemukakan penulis diawal, saat masih diatur saja lingkungan tetap banyak yang rusak bagaimana tidak diatur? Sama saja seperti saat FABA masuk dalam limbah B3 saja perusahaan telah abai, apalagi jika dikeluarkan.

Tentunya perusahaan akan semakin semena-mena mengelola limbah, terjadi polusi di mana-mana, masyarakat sekitar sakit, dan perusahaan lepas tangan karena tidak termasuk B3 dan bukan tanggung jawab perusahaan. Lalu siapakah yang akan bertanggung jawab? Sehingga terjadinya konflik berkepanjangan.

Jika diingat slogan di awal, ‘Kalau bukan kita, siapa lagi?’

Tentunya mengarah kepada kita semua untuk kembali memerhatikan lingkungan. Begitupun pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan. Seharusnya jika limbah batu bara jenis FABA dihapus dari kategori limbah B3, pemerintah seharusnya melakukan penelitian untuk mengelola dan mengurangi risiko dari kandungan logam berat dan radiaktif limbah tersebut. Adapun dalam prakteknya, setiap perusahaan diawasi dalam pengelolaan limbah yang dikeluarkan serta berlakunya hukum yang lebih ketat dalam penanganan pelanggaran pencemaran lingkungan.***

 

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang