Maaf Ya.. Nggak Sengaja

Maaf Ya.. Nggak Sengaja

Oleh : Iriyanti, S.H., M.H.*

 

Kata “maaf nggak sengaja ” terdengar renyah penuh belas kasih yang amat sangat, seolah-olah mengharapkan iba dari seseorang, masyarakat bahkan ‘fasilitas hukum’. Lucu memang jika kita melihat dan mendengar didalam proses penegakan hukum indonesia kata maaf nggak sengaja dijadikan sebagai nota pembelaan (pleidoi) . Kata maaf nggak sengaja yang terlontar  tanpa basa basi, baik disengaja (rekayasa)  atau mungkin dianggap respon positif.

Untuk masyarakat awam yang berucap maaf nggak sengaja mungkin dianggap biasa-biasa saja. Tapi untuk suatu kasus hukum yang jelas membuat seseorang kehilangan kesempurnaan matanya, bersidang untuk menggapai keadilan yang bertahun-tahun sangat diharapkan, pupus dengan ringannya terucap kata “maaf nggak sengaja”. Kata maaf nggak sengaja meruntuhkan kadar hukum, seolah-olah melecehkan keberadaan hukum dan bahkan hukum seperti tak lagi dianggap keberadaannya. Hukum yang seharusnya ditegakkan demi keadilan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa luluh lantak bagai tak bernyawa. Lalu dimana keberadaan hukum itu diletakan? Dimana hukum yang seharusnya memberikan efek jera terhadap pelakunya? Dimana hukum yang seharusnya ada ditengah masyarakat tanpa rasa terkecuali?

Jika hukum diperlakukan seperti itu, maka hukum perlahan-lahan akan dibenamkan dalam kubangan sampah yang aromanya menyebar seantero khatulistiwa. Ingatlah wahai bangsaku,  bangsa Indonesia, bahwa dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) perubahan ke-4  disebutkan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas hukum.  Hukum dijadikan satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law). Hukum itu pasti bukan sebagai rekayasa sosial politik atau bahkan hukum itu bukan hanya sebagai alat yang berfungsi menggugurkan kewajiban saja.

Dalam dunia hukum kepastian dan keadilan itu harus terwujud. Oleh karenanya untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehakiman menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang Hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht vinding).

Baca Juga  Pola Hidup Sehat Agar Aktivitas Optimal

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal itu berarti bahwa setiap orang, orang per orang itu sama kedudukannya dimata hukum, tidak ada si kaya atau si miskin, si kuasa atau si terzolim.

Menyedihkan memang jika untaian kata “maaf nggak sengaja” dapat meruntuhkan kekuatan hukum yang sejak dahulu di elu-elukan sebagai tempat berlindungnya seseorang untuk mencari keadilan yang hakiki. Sejalan dengan itu pemikiran Roscoe Pound malansir gagasan yang telah dikenal dikalangan praktisi hukum “law as tools of social angineering”, dimana ada kemungkinan hukum itu menyimpang dari fungsi hukum, dan idealnya hukum merupakan alat untuk membentuk masyarakat. Berbeda seperti halnya pada negara berkembang dengan adagium law at tools of the ruler, dimana peraturan  perundang undangan adalah alat bagi para penguasa untuk melanggenggkan kepentingan-kepentingan.

Indonesia sebagai negara hukum juga mengenal Asas Kepastian Hukum, dimana asas dalam negara hukum menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Kata adil dan keadilan merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi para pencari keadilan. Semoga generasi penerus bangsa ini cerdas,  jeli,  loyal mengerti dan paham tentang hukum yang sesungguhnya. Mari kita buka mata dan hati kita untuk melihat dan menempatkan hukum pada tempat yang seharusnya. Janganlah mempertegas istilah yang selalu beredar pada masyarakat bahwa “hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas”.

Mari jadikan hukum sebagai suatu sistem dimana didalamnya sudah tertera aturan dan jalur yang harus ditaati dan dijalankan dengan baik dan benar.  Jika boleh saya mengibaratkan hukum laksana kereta api, boleh berhenti di setiap stasiun untuk mendengar, menelaah dan membuktikan kebenaran, namun “hukum tetap berjalan pada relnya”. Semoga bermanfaat “Aequo at bono”.***

 

*Penulis Adalah Dosen Universitas Pamulang