TangselMedia – Lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok yang memiliki perbedaan dalam orientasi seksual pada umumnya. LGBT mengalami perkembangan besar di Eropa.
Isu LGBT pun saat ini telah menyebar sampai Indonesia, perbincangan permasalahan LGBT menjadi bumbu dari keseluruhan tantangan bangsa ini.
Isu ini tidak bisa dianggap sebagai hal sepele yang tak perlu ditanggapi.
Peran Televisi dalam Perkembangan LGBT
Media massa sebagai entitas sosial tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh terhadap perubahan kognitif, afektif dan konatif yang terjadi pada individu dan masyarakat.
Jacques Ellul mengatakan (Bungin: 2006), kalau ingin menggambarkan zaman ini, maka gambaran yang terbaik untuk dijelaskan mengenai suatu masyarakat adalah masyarakat dengan sistem teknologi yang baik. Maka, teknologi adalah salah satu kunci utama dalam perubahan masyarakat.
Perkembangan teknologi saat ini menjadi salah satu penentu penting yang membentuk individu dan masyarakat dalam memandang sebuah realita. Dengan bantuan teknologi terutama televisi menjadikan setiap individu dalam berkeliling dunia setiap hari hanya dengan duduk dan menatap layar kaca.
Tidak dapat dipungkiri bahwa televisi sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.
Televisi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saat ini. Televisi sudah mengambil peran penting bagi kehidupan masyarakat. Dalam permasalahan ini televisi pun tidak dapat menghindari perannya sebagai penyebar serta penanam pandangan masyarakat terhadap kaum LGBT.
Tayangan yang disajikan dalam televisi adalah asupan bagi otak masyarakat guna menanggapi realitas sosial.
Dalam kasus LGBT, televisi seolah memberikan ruang dengan membiarkan tindakan yang berbau homoseksual. Hal ini tercermin dalam gaya bicara dan tingkah laku “ngondek” yang dijadikan sebagai bahan komedi.
Memang tingkah laku ngondek dalam komedi menjadi nilai jual tersendiri untuk memicu tawa bagi penikmatnya.
Namun, tanpa disadari tingkah laku ngondek ini membangun pandangan dalam konstruk pemikiran masyarakat bahwa ngondek yang menjadi simbol homoseksual adalah hal biasa yang dapat diterima dalam konteks sosial.
Diakui ataupu tidak kebiasaan melihat tayangan yang menjual tingkah laku ngondek memiliki peran besar dalam cara kita memandang realitas.
Jika berkaca pada apa yang dikatan Derridda (Bungin: 2006) representasi yang dilakukan media massa adalah dekontruksi terhadap representasi realitas itu sendiri.
Televisi menggambarkan bahwa tingkah laku ngondek adalah sesuatu yang wajar dan dapat diterima serta tingkah laku itu hanya umtuk ditertawakan. Padahal dalam realitasnya tingkah laku ngondek adalah sebuah hal yang tidak sesuai dengan nilai tradisi dan nilai moralitas.
Efek dari tayangan-tayangan yang berbau homoseksual menjadikan masyarakat seolah memberikan ruang bagi kaum homoseksual untuk menunjukkan dirinya dalam ruang sosial.
Hal ini memantik munculnya kelompok LGBT untuk menunjukkan eksistensinya dan mengembangkan komunitasnya dalam publik.
Ditambah lagi dengan tayangan pengesahan dan legalitas LGBT dinegara-negara Eropa membuat kelompok ini makin pede untuk tampil dan menunjukkan taringnya.
Efek Modernitas
Modernitas, sebuah kata yang memiliki makna kekinian dan sesuatu yang menjadi identitas sebuah zaman. Sedangkan menurut Alain Touraine (Wolton: 2012) moderenitas adalah revolusi manusia yang tercerahkan melawan tradisi, sakralisasi masyarakat dan mengacu pada kepatuhan hukum akal.
Dengan keyakinan bahwa akal adalah penentu utama atas nilai-nilai yang berada pada ruang realitas dan masyarakat.
Pengagungan akal menjadi unsur utuh yang menandai modernitas. Maka sisi modernitas memberikan efek pada pergeseran kebiasaan individu, kelompok bahkan Negara. Pemberian ruang yang seluas-luasnya bagi akal membentuk benturan-benturan pada masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai keagamaan.
LGBT adalah bukti pengagunggan akal dalam realitas saat ini. Jika kita membaca ulang sejarah Indonesia tercantum dengan jelas bahwa dalam Pancasila tertulis sebagai sila pertama yang mengawali gagasan besar bangsa ini bahwa KETUHANAN YANG MAHA ESA adalah poin utama yang harus diutamakan.
Pertanyaan sederhananya ialah ajaran Tuhan dari Agama apa yang mengesahkan pernikahan dan hubungan seksual sesama jenis?
Jika mengacu pada Hak akan kebebasan pada setiap individu maka masuk akal apabila LGBT mendapatkan ruang di bumi Nusantara, namun yang menjadi soal adalah bangsa ini dibangun dengan nilai-nilai kepercayaan pada sesuatu yang sifatnya transenden.
LGBT seolah-olah mengajak bangsa ini untuk menghilangkan dan tidak tunduk lagi pada hukum Tuhan dan menggantikannya dengan tunduk pada kepentingan-kepentingan individu dan berdasar rasionalitas semata.
Memurnikan kembali Identitas Indonesia
Identitas menurut Le Robert (Wolton: 2012) identitas adalah karakter hal yang identik dengan diri sendiri. Identitas adalah sebuah sistem representasi, sentiment dan strategi yang diorganisasikan demi pertahanan konservatif objeknya (menjadi diri sendiri), serta untuk kontrol yang mengidealkan (menjadi diri sendiri).
Jika pengertian identitas dimasukkan pada ruang keIndonesiaan maka identitas bangsa ini adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jika kaum LGBT mendapatkan ruang dalam tanah Indonesia dalam bentul legalitas dan pengakuan negara, maka perlu pengkajian kembali Pancasila sebagai pertahanan konservatif objeknya serta sebagai kontrol yang mengidealkan bangsa.
Dan apabila kaum LGBT benar-benar medapatkan legalitas maka dapat dipastikan bahwa negara dan bangsa Indonesia adalah bangsa yang sekuler karena memisahkan nilai-nilai dan aturan Tuhan dalam kegiatan berbangsa dan bernegara, padahal sudah sangat amat jelas bahwa moralitas bangsa ini dibangun atas prinsip keTuhanan.
Maka sangat amat perlu ketegasan dari pemerintah dalam menanggapi permasalahan LGBT dengan mengacu pada identitas negara agar menjaga kemurnian identitasnya.
Oleh: Muhamad Nur
Penggiat Koalisi Mahasiswa UIN (KMU) dan Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Cabang Ciputat.