Sungguh miris membaca berita di koran beberapa hari lalu, tentang hebohnya komunitas bocah homo yang jadi trending topic di twitter. Diberitakan, sebuah akun twitter dengan follower mencapai tiga ribuan itu sempat menggegerkan dunia maya karena akun anonim tersebut berani terang-terangan menyatakan diri sebagai komunitas bocah homo, dan ditengarai para pengikutnya adalah anak-anak pelajar usia SMP.
Sepertinya berbagai bentuk kerusakan terus diproduksi untuk mendegradasi moral generasi muda kita, mulai pornografi, narkoba hingga pergeseran perilaku free sex menyimpang mulai dari beda jenis ke sesama jenis. Budaya merusak ini pun cukup banyak memakan korban dikalangan anak-anak remaja kita. Na’uzubillah.
Fenomena apa ini. Mengapa anak-anak remaja kita mudah terjerumus dalam pergaulan destruktif? Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang mempengaruhi penyimpangan seks di kalangan remaja seperti dampak negatif dari globalisasi yang menyebabkan bergesernya nilai – nilai dan sikap seseorang karena pengaruh negatif dari teknologi, media massa, dan alat komunikasi. Cepatnya arus globalisasi berimbas pada moral generasi muda kita.
Maraknya penggunaan gadget yang kian canggih itu, membuat generasi anak Indonesia sekarang ini lebih cepat dewasa dari usianya. Mereka memang kelihatan lebih cepat dewasa dan matang dari usia sebenarnya, namun yang matang itu hanya hasrat syahwatnya saja, bukan akal budinya.
Dalam sebuah forum, Bactiar Nasir, Pengasuh Forum Majelis Ayah mengatakan, penyebab anak-anak menjadi lebih dulu matang secara syahwatnya, karena mereka saat ini sangat dimudahkan untuk bisa mengakses video-video porno melalui jaringan internet di hanphone yang dibelikan orangtuanya. Sementara hal ini tidak dibarengi dengan pendidikan aqidah dan akhlak yang memadai dari orangtua dan lingkungannya.
Televisi juga media yang paling banyak mempengaruhi budaya banyak orang, dan anak-anak adalah sosok yang paling mudah terkena pengaruh negatif karena belum memiliki self kontrol seperti orang dewasa. Fungsi televisi yang seharusnya informatif dan edukatif justru lebih banyak konten yang menyuguhkan acara tidak bermakna, hiburan tidak mendidik, dan gaya hidup hedonis dan konsumtif.
Lihat saja, tayangan televisi yang menampilkan para artis, presenter dan komedian yang bergaya mirip bencong ditengarai turut mempengaruhi mental anak-anak remaja kita. Mereka memahaminya, jika ingin cepat terkenal seperti artis maka bergayalah seperti bencong, jika ingin melucu bergayalah seperti bencong.
Dampak buruk televisi yang menampilkan tayangan kekerasan juga mudah dilihat, yang lebih parah adalah dampak desensitisasi (tumpulnya kepekaan), salah bentuk desensitisasi adalah hilangnya empati, rasa sedih dan sekurang-kurangnya penilaian buruk terhadap berbagai penderitaan maupun tindak kekejian.
Selain itu, legalisasi Undang-Undang LGBT (lesbian, gay, biseksual, trangender) yang disahkan beberapa waktu lalu di Amerika Serikat juga turut menginspirasi remaja-remaja kita untuk mengikutinya, seolah sesuatu yang datang dari luar itu keren dan layak diikuti. Padahal semua agama samawi melarang perilaku LGBT karena seks menyimpang ini tidak mungkin melahirkan keturunan baru sehingga merusak eksistensi manusia. Selain itu, penyimpangan seks sesama jenis ini juga memunculkan banyak penyakit kanker, penyakit kelamin, HIV/AIDS, bahkan juga Meningitis yang tentu saja akan merusak pelaku dan orang dekat pelaku.
Dalam laporan AIDS Global 2015 yang diluncurkan oleh Badan PBB untuk AIDS (UNAIDS) mengungkap ada tiga kota besar di Indonesia yang memiliki jumlah pengidap HIV tertinggi pada populasi lelaki penyuka sesama jenis atau gay.
Sebenarnya pengaruh negatif di atas tidak terlalu berdampak ke anak-anak kita jika mereka dekat dengan orang tuanya, khususnya para ayah. Saat ini banyak anak-anak remaja kita kehilangan figur kuat seorang ayah di rumahnya. Mereka tidak betah berlama-lama di rumah karena merasa orang tuanya bukan sosok yang bersahabat, orang tua dikesankan sebagai figur yang kolot dan membosankan, terlalu mengekang dengan segudang aturan.
Biasanya, para remaja yang terjerumus dalam pergaulan destruktif karena mereka kering perhatian dari orang tuanya. Anak-anak merasa orang tuanya bukan mitra setrategis untuk sekedar mendengar segala keluh kesahnya, anak-anak remaja kita butuh sosok panutan, butuh figur orang tua yang bisa menjadi teman berdiskusi. Jika hal itu tidak didapat di dalam rumah, maka mereka akan keluar rumah mencari pelarian.
Sebagai orang tua akhir zaman, kita harus meningkatkan kewaspadaan karena budaya destruktif masuk melalui berbagai celah untuk mempengaruhi anak-anak kita. Tugas para ayah bukan hanya di luar rumah mencari rezeki dan membesarkan badan anak-anaknya saja, tapi juga menanamkan pendidikan karakter pada perilaku anak agar mereka memiliki konsep, nilai, dan misi hidup yang jelas.
Anak-anak yang sangat berpengaruh pada teman-teman sepermainan yang sebaya atau bahkan lebih tua dari usianya, kerap kali bukan ditentukan oleh kecerdasan intektualnya, melainkan seberapa kuat karakter membentuk dirinya. Tak peduli karakter itu baik atau buruk. Kalau karakternya yang menonjol sangat baik, maka anak-anak disekelilingnya akan terbawa. Yang semula buruk, berkurang keburukannya dan berangsur-angsur menjadi baik.
Menurut Mohammad Fauzil Adhim, dalam bukunya yang berjudul “Positive Parenting” cetakan Mizania 2006 mengatakan, karakter yang kuat dibentuk oleh penanaman nilai yang menentukan tentang baik dan buruk. Nilai ini dibangun melalui penghayatan dan pengalaman, bukan melalui pengetahuan. Karena pengetahuan yang tidak dihayati dan diyakini sebagai sikap terbaik, tidak akan memberi bekas apa-apa terhadap perilaku. Dan sikap terbaik itu penopangnya adalah harapan dan ketakutan. Jika Anda merasa perilaku sex menyimpang adalah perbuatan dosa, tetapi dorongan keinginan untuk melakukan perilaku menyimpang lebih menguasai diri, maka pengetahuan tentang bahaya sex menyimpang yang kita sampaikan tidak berati apa-apa.
Jika yang ditanamkan ke jiwa anak hanya pengetahuan saja, maka pengetahuan hampir tidak memberi pengaruh pada perilaku jika pengetahuan itu tidak sejalan dengan sikapnya. Seperti pengetahuan yang tidak diyakini dan dihayati dengan sungguh-sungguh tidak menghalangi seorang dokter spesialis penyakit dalam meninggal disebabkan terlalu banyak merokok.
Para ayah harus lebih peka dan peduli lagi pada dunia anak-anaknya. Hanya para ayah yang bisa mengajarkan ego, untuk membuat anak percaya diri, punya prinsip dan berani beda dengan teman-temannya. Absennya ayah dalam mendidik akan membuat anak kompromistis. Temannya merokok, dia ikut-ikutanan. Teman-temannya melakukan seks menyimpang, dia ikut-ikutan. Anak tak bisa bilang tidak pada teman.
Ingat wahai para ayah, kaum gay di Indonesia masih discreet, mereka belum mendeklarasikan dirinya sebagai homo di kalangan publik, mereka cenderung memilih teman di jejaring sosial khusus untuk mereka. Karena itu, jadilah sahabat dan soulmate bagi anak remaja kita, jadilah kepercayaannya, remaja kita tidak butuh ahli nasehat, ia butuh pendengar yang baik, agar mereka tidak terjerumus dalam pergaulan yang merusak. Wallahu a’lam.
Oleh : Sucipto
Alumni Keluarga Besar KAMMI