Marital Rape Ditinjau Dari Prespektif Psikologis dan Kemasyarakatan (Suatu Studi Kasus KDRT)

Marital Rape Ditinjau Dari Prespektif Psikologis dan Kemasyarakatan

(Suatu Studi Kasus KDRT)

Oleh : Dewi Ulfah Arini, S.Psi, MM, (Psikolog)*

 

Pernikahan adalah suatu hal yang suci dan sakral dimana dua insan berbeda latar belakang akan membina hubungan rumahtangga yang dirahmati Tuhan dengan janji suci seumur hidup dihadapan Tuhan dan masyarakat. Kewajiban dan Hak dari pasutri pasca menikah bukan sekedar kebahagiaan Lahir dan Bathin yang dirasakan keduanya namun bagi suami memberikan penghidupan yang layak, melindungi anak dan istri, membimbing dan mengarahkan istri dan anak kepada jalan yang baik dan benar. Begitupula kewajiban bagi Istri terhadap suami yaitu memberikan layanan dan kebahagiaan bagi suami dan anak, mengasihi dan membentuk karakter anak menjadi insan yang sholeh. Itu adalah kondisi ideal yang menjadi acuan dalam kehidupan berumah tangga. Namun, tak jarang kita mendengar adanya pelanggaran dan tindakan kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga baik terhadap istri ataupun anak.

Hal yang seringkali dilupakan ketika terjadi kekerasan ibu terhadap anak, yang dipersalahkan adalah ibu. Padahal, kondisi tersebut bisa jadi karena faktor terbesar dari ayah atau suami. Hal ini menjadi trauma bagi istri ketika akan berhubungan kembali. Trauma yang dirasakan, tidak sebatas pada fisik namun secara psikologis menjadi faktor terbesar. Perilaku yang muncul adalah ketidakpercayaan istri terhadap suami dan ketakuan yang dihadapi istri menjadikan hubungan pernikahan tidak lagi ikhlas dan sakral melainkan penuh kekhawatiran, tekanan, konflik dan trauma pada istri. Ini terjadi dengan banyaknya kasus yang muncul dimasyarakat melalui media, dimana ibu melakukan kekerasan terhadap anaknya dan menimbulkan kematian.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh BPS dalam kurun waktu 4 tahun terakhir antara tahun 2016 – 2019 ini terdapat 259.150 kasus KDRT yang dilakukan suami terhadap istri dimana korban mendapatkan pemukulan fisik baik pada badan dan wajah. Data ini berdasarkan konfirmasi dari Komnas PPPA dengan tajuk Pembangunan Ketahanan Keluarga bahwa kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik dimana suami memukul istri, masih terjadi cukup tinggi sebesar 25,86 %. Sedangkan data di Ibukota yang menyetujui tindakan pemukulan adalah 21,65% dan didesa lebih tinggi sebesar 30,04%. Namun begitu, ada pula yang tidak membenarkan tindakan pemukulan terhadap wanita untuk semua alasa sebanyak 74,14%. Saat ini, pemahaman terhadap peran didalam rumahtangga yang hanya menyoroti satu pihak saja sebagai yang bertanggungjawab sepenuhnya menjadikan suami bersikap semena-mena termasuk dengan cara kekerasan.

Sejatinya, suami istri haruslah sejajar dan saling sehingga terjadi keharmonisan. Bagaimana ini bisa terjadi? Salah satunya adalah ketiadaan komunikasi dan tidak saling menghargai satu sama lain menjadi indikator ketidakselarasan hubungan suami istri menimbulkan kekerasan dalam rumahtangga. Pendidikan yang rendah, perenokomian yang sulit pun menjadi faktor pendukung adanya tindakan semena-mena terjadi. Tindakan kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga terhadap wanita menjadi hal bahaya karena wanita pada semua umur mudah menjadi sasaran bentuk kekerasan seperti pemukulan, pemaksaan, perkosaan dan bentuk penyerangan seksual, mental dan yang disaklekkan sebagai tradisi pembelajaran.

Bentuk kekerasan yang dialami oleh istri bukan hanya dari fisik namun juga verbal dengan bahasa dan bentakan merupakan satu kondisi Marital Rape yang dilakukan oleh suami kepada istri. Dimana bahasa negatif yang disampaikan berulang kepada istir menjadikan mental dan secara kejiwaan melemahkan istri. Istri tidak berharga dan lemah secara mental yang berdampak pada konsep diri istri yang negatif. Salahsatu indikator Marital Rape adalah hubungan badan dengan paksaan, hubungan badan dengan ancaman secara verbal, hubungan badan dengan memperturutkan satu selera sendiri tanpa disetujui korban, hubungan badan dengan obat terlarang / obat penguat sehingga menyebabkan istri mengalami tekanan dan tidak bisa melakukan tindakan.

Baca Juga  Banyak ASN Genit Bangun Popularitas Jelang Pilkada Tangsel 2020

Tekanan tersebut menjadikan wanita bingung, terjerat dan tidak tahu apa yang dilakukan selain menangis. Tidak hanya itu, tingginya tekanan yang dihadapi wanita dan ketidakmampuannya untuk mencari perlindungan menyebabkan stress dan memunculkan gangguan kejiwaan yang berdampak pada tumbuh kembang anak. Secara psikis, marital rape menimbulan kekecewaan yang berkepanjangan atau ketakutan dan trauma untuk berhubungan seksual. Dampak ini tidak hanya jangka pendek yaitu beberapa hari setelah kejadian dengan indikasi perilaku sering marah-marah, merasa bersalah dan terhina. Gangguan emosional yang ditandai sulit tidur, kurang nafus makan dan menutup diri. Sedangkan pada jangka panjang disertai dengan persepsi negatif tentang suami, seks dan trauma yang ia tanggung. Luka jiwa yang diderita dapat masuk kepada batas wajar dan abnormal. Bahkan, jika berulang kali terjadi biasanya karakter istri akan muncul rasa tidak percaya diri, selau menyalahkan diri dan merasa tidak mampu dan membuat suami marah/kalap, adanya gangguan reproduksi (siklus menstruasi) karena tekanan berat yang dihadapi. Seorang istri yang mengalami kondisi tersebut, tetap bertahan karena keputusan bukan memikirkan dirinya namun anak-anak dan keluarga besar karena konstruksi yang menyatakan istri pelindung, pembimbing anak-anak dan pendorong suami. Namun apabila suami yang tidak peka dan cenderung memberikan stigma negatif pada istri akan merusak tatanan rumahtangga yang dibangun diawal dengan saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Pernikahan bukanlah pelarian dan pengesahan bahwa kekerasan menjadi diperbolehkan karena sudah terikat dalam satu pernikahan.

Oleh karena itu, sebaiknya ketika akan melakukan satu hubungan pernikahan perlu kita pahami bibit, bebet dan bobot sehingga kita tidak terbuai dengan sikap dan perilaku manis yang ditampilkan sesaat. Karena hubungan pernikahan akan dijalankan dalam jangka waktu yang sangat lama. Sikap simpati, saling menghargai dan memahami kondisi masing-masing, tidak memaksakan kehendak diantara keduanya dan perlakukan baik calon suami dapat menumbuhkan benih cinta diantara keduanya.

Satu hal, yang perlu dicanangkan dan ditetapkan dalam rumah tangga adalah menghilangkan pelabelan dan stigma negatif tentang diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perlakuan pada istri dan anak. Masyarakat perlu belajar bahwa seseorang yang memaksa diri mereka untuk melakukan hubungan seksual, bahkan dalam institusi pernikahan, tetap dianggap sebagai pemerkosaan. Pemahaman dasar ini sebagai internalisasi bahwa komitmen penghormatan terhadap kedua belah pihak dalam pernikahan adalah satu-satunya yang dapat diterima dalam keniscayaan. Selain itu, sudah saatnya masyarakat secara bersama-sama bertindak dan menanamkan konsep tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat dan negara. ***

 

*Penulis Adalah Dosen Fakultas Ekonomi Akuntansi Universitas Pamulang dan Psikolog pada Divisi Konseling & Pusat Karir – Universitas Pamulang