“DERADIKALISASI MELALUI SENTUHAN BUDAYA”
Penulis : Budi Sartono*
Frekuensi dan intesitas penggunaan Internet di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dicuplik dari data hasil survei Pooling Indonesia dan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang dilakukan pada bulan April 2016, menunjukkan bahwa 132,7 juta, dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 256,2 juta jiwa adalah pengguna Internet. Demikian pula dari survei yang sama, didapat gambaran terhadap rentang usia pengguna Internet, yakni 24,4 juta orang berusia 10 – 24 tahun, 32,3 juta orang beruisia 25 – 34 tahun, 38,7 juta berusia 35 – 44 tahun, dan 23,8 juta orang berusia 45 – 54 tahun. Kemudian, dari tinjauan latar belakang pekerjaan, 82,2 juta pengguna Internet adalah pekerja dan wiraswasta, 22 juta adalah ibu rumahtangga, 10,3 juta mahasiswa, 8,3 juta pelajar, dan 796 ribu orang untuk kelompok lainnya.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kalangan dewasa dengan rentang usia 35 – 44 tahun yang jumlahnya 82,2 juta, berlatar belakang sebagai karyawan atau wiraswasta adalah pengguna urutan pertama, kemudian peringkat kedua adalah kalangan mahasiswa dan pelajar, dengan rentang usia 10 – 24 tahun dengan jumlah populasi 24,6 juta orang. Pesan penting yang dapat dipetik dari survei tersebut adalahtingkat agresivitas mengakses internet didominasi oleh kalangan usia relatif muda.
Radikalisasi faham, keyakinan dan ideologi yang semakin berkembang belakangan ini, terutama melalui dunia maya, mengisyaratkan kepada kita semua akan pentingnya pengawalan dan pengawasan terhadap berbagai informasi dan berita yang diunggah di internet. Sebuah peristiwa tak terduga terjadi belum lama ini, yakni kasus penusukan dua anggota Brimob Polri oleh seorang tak dikenal, hari Jumat, 30 Juni 2017 lalu, di Masjid Falatehan Jakarta. Pelaku melakukan penusukan karena terinspirasi oleh sebuah konten radikalisme yang dibacanya dari Internet. Arus gerakan radikalisme yang mulai menggejala belakangan ini menunjukkan bahwa diakui atau tidak, internet telah memberi kontribusi besar bagi tumbuh-kembangnya perilaku dan tindakan menyimpang warga masyarakat. Kasus kekerasan di Masjid Falatehan adalah sebuah fenomena yang harus dicermati dan diwaspadai, betapa eksesivitas penggunaan internet harus dikawal, khususnya dari aspek konten yang disajikan.
Internet dengan beragam muatan yang ada di dalamnya, melalui media Telegram, Facebook, Twitter, Line, Instagram, WhatsApp (WA) dan lain-lain, membuka peluang besar sebagai sumber informasi, berita, data, dokumen, pedoman bahkan bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi seseorang untuk berbuat sesuatu yang tidak pernah bisa diduga dan diprediksi sebelumnya. Fenomena radikalisme, terorisme, fitnah, hujat, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, yang sangat masif di dunia maya, harus disikapi secara tegas agar tidak menjadi embrio dan sumber perpecahan di negeri ini. Kedamaian dan kerukunan anak bangsa yang telah terpelihara selama puluhan tahun bisa porak poranda dalam sekejap. Kalangan muda dengan segala kelebihan energi yang dimiliikinya harus memperoleh kanal penyaluran yang benar, positif dan produktif. Populasi pengguna internet dari kalangan generasi muda yang demikian besar bisa memunculkan masalah apabila bagi dinamika kondisi sosial, ekonomi, politik dan keamanan masyarakat.
Konten-konten yang tersebar di internet di satu sisi banyak memberi manfaat dan faedah bagi kemaslahatan hidup manusia. Berbagai ketrampilan, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain, bisa dengan mudah diakses dan diunduh dari internet. Sebaliknya, dampak negatifnya pun sangat besar. Pemerintah memiliki tanggungjawab besar untuk mengawal dan mengendalikan berbagai konten Internet yang jumlahnya jutaan, yang dengan bebas berkeliaran di dunia maya. Walaupun Polri telah memiliki Divisi penangkal dan pengendali Cyber Crime Patrol, namun hal tersebut tidak cukup untuk membendung arus informasi negatif yang berkembang di internet. Demikian pula, walaupun rambu-rambu hukum telah dibuat melalui lahirnya Undang-Undang ITE, namun hal tersebut juga tidak cukup ampuh untuk menumbuhkan efek jera bagi para pelaku tindak kriminal di dunia maya.
Deradikalisasi konten yang beredar di internet bisa dilakukan melalui sebuah pendekatan yang bersumber pada nilai-nilai edukatif – kultural bangsa. Bangsa Indonesia yang telah dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian luhur, dengan beragam suku, bahasa daerah, adat istiadat dan kebiasaan, maka uapaya budaya bisa dijadikan referensi atau acuan edukasi dalam meredam liarnya berbagai konten radikal di dunia maya. Budaya timur yang telah menjadi ciri dan karakter bangsa ini bisa dijadikan cara pendekatan untuk meredam keinginan untuk berbuat radikal. Deradikalisasi melalui pendekatan budaya menjadi sebuah keniscayaan yang bisa kita lakukan. Radikalisasi faham, isme, ideologi atau keyakinan muncul karena pemahaman yang salah dan dangkal terhadap suatu keyakinan atau ajaran agama. Agama dan budaya, dalam sejarahnya tidak pernah berbenturan, karena budaya lahir bersumber pada, dan merupakan kristalisasi nilai-niliai ajaran agama. Budaya bangsa yang hidup dan berkembang sejak lama di negeri ini, seperti budaya Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Dayak, Madura, Arab, Cina dan lain-lain, sejatinya tidak pernah mewariskan kekerasan, permusuhan, kebencian dan nilai-nilai keburukan lainnya. Budaya senantiasa mengajarkan akan nilai-nilai kemuliaan, kebaikan, kesantunan, kedamaian, keindihan, tolerasi dan harmoni.
Deradikalisasi konten ekstrem di Internet bisa dilakukan melalui pengiriman pesan-pesan moral dan budya, dengan mengadopsi ikon atau nilai luhur budaya lokal/daerah. Sebagai contoh, dalam budaya Jawa, sangat dikenal sebuah pepatah yang berbunyi “Ojo Dumeh!”. Dalam budaya Sunda dikenal pepatah “Saling Asih – Asah –Asuh”. Begitu pula tentunya dengan daerah-daerah lain melalui Ikon-ikon budaya yang dimilikinya, yang bisa dijadikan model pesan moral yang disampaikan melalui Internet. Browser media Internet, seperti Google Chrome, Mozilla, Internet Explorer, Safari, Opera Mini, UC Browser dan lain-lain, bisa diajak bekerjasama untuk tujuan tersebut. Demikian pula, akun-akun media sosial pun, bisa dilibatkan dalam menyampaikan pesan-pesan moral dan etika untuk kalangan pengguna.
Radikalisme, apa pun bentuk dan modelnya, selalu memunculkan keresahan dan kecemasan masyarakat luas. Fenomena radikalisme tentu saja bukan tanpa sebab dan alasan. Itulah sebabnya, mengapa nilai-nilai Pancasila harus dioperasionalkan, tidak hanya sekedar menjadi slogan dan retorika. Pancasila harus dibumikan dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa. Tugas semua komponen anak bangsa ini adalah menumbuhkan kesadaran dan pemahaman sedalam-dalamnya bahwa radikalisme adalah sebuah ancaman, baik bagi kebhinnekaan, toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa ini.**
*Praktisi Pendidikan