TangselMedia.com – Rumah atau tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat, ada sedikitnya 25 juta keluarga Indonesia yang hingga saat ini tak bisa membeli rumah. Jumlah ini setara dengan 40% penduduk Indonesia (detikfinance). Krisis rumah tinggal melanda kota – kota besar di Indonesia. Eddy Ganefo, Ketua DPP Asosiasi Pengembang perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengatakan bahwa lima juta penduduk Jakarta tidak memiliki rumah.
Rumah bukan hanya sebagai tempat berteduh dari terpaan cuaca, tapi rumah juga memegang peranan penting dalam membangun keluarga. Hunian sehat dan nyaman dapat menunjang setiap anggota keluarga yang ada di dalam rumah untuk mendapatkan ketenangan jiwa, proses pendidikan yang optimal bagi anak – anak dan terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan fisik lainnya. Tekanan mental dan gangguan kesehatan akan muncul di tengah – tengah masyarakat akibat tidak terpenuhinya kebutuhan papan ini. Lambat laun krisis tempat tinggal yang melanda masyarakat perkotaan,niscaya dapat menimbulkan berbagai macam masalah sosial seperti tingginya angka kriminalitas dan dekadensi moral.
Saat ini hunian sehat dan nyaman semakin sulit dijangkau oleh masyarakat. Derasnya arus urbanisasi menyebabkan lahan untuk hunian bertambah sempit dan harganya semakin melangit. Harga bahan bangunan dan kemiskinan struktural menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, memiliki tempat tinggal layak menjadi sebuah mimpi.
Pada tanggal 23 Februari 2016, sidang Paripurna DPR telah mengesahkan Undang Undang Tabungan Perumahan Rakyat yang diharapkan dapat menjawab permasalahan kebutuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan pemerintah segera merespons Undang Undang ini dengan membuat aturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), serta pembentukan Badan Pengelola (BP) Tapera. Kelak, program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dilebur dalam Tapera. BP Tapera akan menerima suntikan modal dari program perumahan yang disokong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 43 triliun.
Anggota Panitia Khusus Tapera, Muhammad Misbakhun, menjelaskan besaran iuran maksimal Tapera ditetapkan tiga persen dari penghasilan pekerja. Kebijakan ini ditolak oleh pengusaha, karena sebelumnya sudah dibebani iuran BPJS dan dianggap tidak mendukung peningkatan iklim usaha di Indonesia. Hal senada juga diungkap Irman Gusman, Ketua DPD, yang mengeluhkan bahwa UU ini hanya menyentuh persoalan pengelolaan uang tabungan bukan pengadaannya. Selanjutnya, apakah kebijakan ini mampu mewujudkan mimpi masyarakat mendapatkan hunian layak?
Kota –kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung masih laris menjadi destinasi bagi pencari rupiah yang menganggap peluang pekerjaan di daerahnya semakin minim. Kebutuhan tempat tinggal di sekitar lokasi pekerjaan menjadi penting untuk memangkas biaya transportasi yang dikeluarkan. Sulitnya hunian nyaman bagi masyarakat merupakan dampak dari urbanisasi sendiri. Pembangunan yang belum merata di daerah menyebabkan arus urbanisasi semakin deras. Jika permasalahan urbanisasi tidak dapat teratasi, maka krisis kekurangan rumah (backlog) akan terus meradang.
Bumi Nusantara memiliki kekayaan sumber daya alam hayati dan non hayati yang berlimpah dari Sabang sampai Marauke. Setiap daerah mempunyai potensi alam yang khas untuk dijadikan sebagai sumber kehidupan dan mata pencaharian. Satu jenis sumber daya alam dapat dikembangkan menjadi sebuah industri yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Pengelolaan modal yang baik, pembangunan infratruktur pendukung dan edukasi terhadap masyarakat dapat menggenjot tingkat perekonomian daerah. Geliat kemajuan di daerah inilah yang dapat menekan derasnya arus urbanisasi. Lapangan pekerjaan yang luas dan beragam tidak akan menyedot perhatian kembali putra daerah melihat gemerlapnya kota – kota metropolitan.
Arus urbanisasi yang menurun akan berdampak signifikan terhadap kebutuhan tempat tinggal di daerah perkotaan. Masalah sosial yang timbul akibat hunian padat tak layak huni pun bisa teratasi. Namun pembangunan di daerah yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat memerlukan proses yang panjang. Sementara permasalahan sosial yang setiap hari bergulir juga perlu diatasi.
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang selama ini terkena dampak krisis hunian tidak bisa lagi menunggu lama, karena kerusakan yang terjadi bisa berdampak sistemik. Negara harus mengambil peran utama dan bertindak cepat dalam menyelesaikan permasalahan ini. Hunian tidak layak hendaknya segera direnovasi menjadi hunian yang sehat dan nyaman. Melihat dampak yang buruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan ini harusnya negara meninjau ulang anggaran belanja yang lebih diorientasikan kepada penyelesaian masalah – masalah rakyat yang mendasar, peningkatan daya beli masyarakat dan pemerataan pembangunan. Penerbitan serangkaian Undang – Undang dan peraturan yang selaras akan menjadi solusi.
Peran negara bukan saja meregulasi pengumpulan dana tabungan untuk pengadaan rumah bagi rakyat. Namun negara juga harus hadir dan segera memberi bantuan nyata untuk rakyat yang belum memiliki rumah layak. Pada saat yang sama meregulasi dan menstimulus perekonomian untuk memperluas lapangan pekerjaan sehingga tidak bertumpuk di daerah perkotaan. Sistem pendidikan dengan isi kurikulum yang mengedepankan kompetensi moral akan mampu meredam dampak temporal dekadensi moral yang sudah nyata di depan mata.
Terciptanya iklim usaha yang sehat di daerah tidak akan menuai krisis hunian, karena luas lahan yang dimiliki daerah relatif masih memadai untuk membangun hunian yang layak. Perusahan – perusahan besar di daerah perkotaan yang mampu menyedot ratusan hingga jutaan tenaga kerja hendaknya menyediakan fasilitas hunian layak untuk karyawannya. Adanya jaminan kesehatan yang tidak dipungut dari rakyat, pendidikan yang berkualitas serta ketersediaan harga barang – barang pokok yang terjangkau akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memiliki hunian layak. (Rafiqa Anandita)