Reklamasi : Pembangunan Ala Kapitalis Yang Tak Berkeadilan

Nasional, Opini1579 Views

reklamasi-teluk-jakarta-di-balik-kematian-ikan-di-pantai-utaraTangselMedia.com – Lagi-lagi permasalahan korupsi menghiasi siaran berita di televisi. Kini terkait dengan tertangkap tangannya Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk, Ariesman Widjaja, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ariesman dituding menyuap anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Suap ini terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Tak main-main, KPK menyebut kasus ini sebagai ‘megakorupsi’. Dalam kasus ini, penyidik KPK menetapkan Ariesman, Triananda Prihantoro (salah satu karyawan Agung Podomoro), dan Mohamad Sanusi (ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta) sebagai tersangka[1].

Menuai Protes Masyarakat

Berdasarkan berbagai sumber yang saya dapatkan, projek reklamasi ini membawa banyak dampak buruk, diantaranya terkait dengan lingkungan (dengan adanya projek ini akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah); Hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain; juga reklamasi ini akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air; Selain itu, reklamasi ini juga berdampak pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara (reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin)

Kepentingan Kapitalis dan Kelas Berkantong Tebal

Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa sebenarnya proyek itu? Benarkah untuk kepentingan rakyat? Atau kepentingan rakyat hanya diperalat untuk kepentingan kapitalis?

Alasan untuk menyediakan lahan karena sudah tidak mungkin perluasan lahan di darat tidak sepenuhnya benar, atau lebih tepat alasan keterbatasan lahan itu diperalat. Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro, reklamasi di Singapura, Dubai, dan New York memang untuk penyediaan lahan karena dipicu keterbatasan ruang di darat” (Kompas.com, 4/4/2016).  Tapi menurutnya, bagi Jakarta reklamasi lebih didorong karena anggapan ongkos pembangunan di laut lebih murah. Daripada menciptakan ruang pembangunan baru di daratan yang jauh lebih mahal akibat terlalu birokratis, harga tanah tak terkendali, serta banyak masalah sosial seperti kawasan kumuh dan penghuni liar.

Namun pembangunan lahan di atas laut tidaklah murah dan dengan ongkos produksi setinggi itu, dapat dipastikan harga properti yang ditawarkan pun sangat tinggi. Bisa menembus angka belasan hingga puluhan juta rupiah per meter persegi. Tapi seperti diakui oleh Vice President Director and Chief Operating Officer Jakarta PT Intiland Development Tbk, Suhendro Prabowo, potensi mendapat keuntungan berlipat dari menjual properti di lahan reklamasi, lebih besar ketimbang lahan daratan.

Dengan iming-iming fasilitas legkap termasuk central bussines distric, lokasi tepi pantai, ada fasilitas dermaga mini untuk tempat berlabuh speed boat di sebagiannya dan lainnya, harga jual properti di pulau buatan hasil reklamasi akan sangat tinggi. Harga rumah Jaya Ancol Seafront yang dikembangkan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk berkolaborasi dengan PT Jaya Real Property Tbk pada rentang Rp 5 miliar untuk ukuran 8 x 18 meter dan Rp 6,4 miliar untuk ukuran 9 x 25 meter. Sementara Pluit City yang dikembangkan PT Muara Wisesa Samudra anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk, dijual sekitar Rp 1 miliar untuk unit apartemen, Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar untuk rumah, dan ruko Rp 4 miliar ke atas. Karena itu, Matius Jusuf mengatakan, hanya orang-orang kaya dan berkocek teballah yang bisa membeli properti di atas lahan reklamasi itu.

Dari sana, terlihat jelas bahwa yang paling diuntungkan dari proyek reklamasi itu adalah para pengembangnya. Sebab bisa mendapatkan keuntungan sangat tinggi dibanding jika mengembangkan di daratan terutama di kawasan pusat bisnis. Berbagai fasilitas hasil reklamasi juga lebih banyak dinikmati oleh kalangan berkocek tebal, bukan oleh kelas menengah yang sedang tumbuh sekalipun, apalagi rakyat kebanyakan.

Ini adalah potret gamblang sistem pembangunan yang ada dalam zaman kapitalisme ini. Semua hal bisa dilakukan oleh para pemodal yang berdompet tebal, sekalipun hal tersebut justru menyengsarakan masyarakat kecil yang tidak berdaya. Semakin bertambah persoalan saat diketahui bahwa hal tersebut terjadi dengan campur tangan para penguasa yang notebene mendapatkan kekuasaannya melalui pilihan rakyat. Fakta yang sangat jauh berbeda dengan Islam.

Baca Juga  Program Merdeka Belajar Dalam Masa Darurat COVID-19

Ibn umar r.a berkata : “Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya…… Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal hal yang dipimpinnya”. (HR. Bukhari Muslim)

Pandangan Islam Tentang Reklamasi[2]

Islam sebagai agama rahmatan lil a’lamiin memiliki pandangan yang khas pula dalam masalah reklamasi. Obyek reklamasi adalah kawasan berair. Sebagian besar reklamasi yang dilakukan adalah terhadap kawasan rawa-rawa, danau, kawasan pesisir dan laut. Terkait dengan wilayah berair, maka Islam membedakannya menjadi dua pembahasan;

Yang pertama menyangkut danau, kawasan pesisir, dan laut merupakan harta milik umum seluruh rakyat secara berserikat. Harta milik umum itu dalam ketentuan syariah tidak boleh dikuasai atau dikuasakan kepada individu, kelompok individu atau korporasi. Menurut syariah, negara dengan pengaturan tertentu harus memberi kemungkinan kepada seluruh rakyat untuk bisa memanfaatkan atau mendapatkan manfaat dari harta milik umum. Negara juga harus mengelola langsung harta milik umum dan hasil pengelolaan itu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung atau dalam bentuk berbagai pelayanan. Dalam hal ini, maka praktik pengaplingan reklamasi sebanyak 17 pulau buatan di teluk Jakarta atau kawasan pesisir Jakarta jelas tidak boleh.

Yang kedua menyangkut kawasan rawa-rawa (bathâ`ih), menurut syariah merupakan bagian dari kepemilikan negara. Pengelolaannya diserahkan kepada khalifah sesuai ijtihad dan pandangannya yang disitu ada kemaslahatan bagi kaum Muslim. Terhadap harta milik negara, khalifah boleh memberikannya kepada individu rakyat. Hal itu berdasarkan riwayat dari Muhammad bin Ubaid ats-Tsaqafi, ia berkata: “seorang laki-laki penduduk Bashrah dipanggil Nafi’ Abu Abdillah meminta kepada Umar bin al-Khathab tanah di Bashrah yang bukan termasuk tanah kharaj dan tidak menyebabkan dharar bagi seorangpun dari kaum Muslim untuk dia jadikan tempat menambatkan kuda. Lalu Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Utsman bin Affan memberi Utsman bin Abiy al-‘Ash ats-Tsaqafi tanah di Bashrah, berupa tanah berair atau rawa lalu Ustman bin Abiy al-‘Ash mengeluarkannya (mengeringkan) dan menghidupkan tanah itu.

Dalam hal pemanfaatan kedua wilayah ini, maka

  1. Negara harus memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan kekayaan diantara rakyat (lihat QS al-Hasyr: 7).
  2. Negara juga harus memperhatikan kemaslahatan dari berbagai aspek termasuk kemaslahatan keselamatan lingkungan.
  3. Tidak terdapat dharar dalam pemanfaatannya, Hal itu berdasarkan hadits Rasul saw: “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada membahayakan –memudharatkan- (baik diri sendiri maupun orang lain)”. (HR Ibn Majah, Ahmad, ad-Daraquthni)

Keduanya dilakukan karena secara syar’iy negara memiliki wewenang untuk memproteksi sesuatu untuk tujuan tertentu. Ibnu Abbas meriwayatkan dari ash-Sha’ab bin Jatsamah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:“Tidak ada wewenang memproteksi kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya” (HR Abu Dawud). Yakni untuk negara. Diriwayatkan pula dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra: “Nabi saw memproteksi Naqi’ –tempat yang sudah dikenal di Madinah- untuk kuda-kuda kaum Muslim” (HR Abu Ubaid).

Maka, terdapat 4 aturan terkait hal ini;

  1. Reklamasi kawasan pesisir atau laut jika dilakukan oleh individu, kelompok individu atau korporasi untuk kepentingan individu, kelompok individu atau korporasi itu sendiri maka haram dilakukan. Negara haram memberikan kuasa, memberikan konsesi atau memberikan izin kepada individu, kelompok individu atau korporasi untuk melakukan itu.
  2. Reklamasi atas kawasan pesisir atau laut atau kawasan perairan milik umum oleh negara untuk tujuan atau keperluan tertentu yang termasuk kepentingan negara dan atau kepentingan atau kemaslahatan rakyat maka reklamasi itu boleh dilakukan. Namun dalam melakukan itu tetap negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariah terkait, termasuk tidak boleh membahayakan.
  3. Reklamasi kawasan perairan milik negara seperti kawasan rawa-rawa jelas boleh dilakukan oleh negara secara langsung. Lahan hasil reklamasi bisa dibagikan diantara rakyat.
  4. Reklamasi oleh individu, kelompok individu atau korporasi maka hanya boleh dilakukan setelah kawasan perairan milik negara itu diberikan oleh negara kepada individu tersebut. (Tri Silvia)

[1] http://fokus.news.viva.co.id/news/read/756134-suap-reklamasi-uang-siluman-di-pusaran-bisnis-properti

[2] www.hizbut-tahrir.or.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *