Tulisan yang terhormat Sdr. Nadirsyah Hosen berjudul “Syariat Islam dan Politisi” memang terkesan ilmiah, adil dan terbuka, namun bila dicerna dengan baik akan memberi kesan dan pesan bahwa Muslim / Ustadz dan Syariat Islam tidak layak diperjuangkan dan dihormati karena kesalahan / pelanggaran “individual”. Karenanya saya terpanggil untuk mengoreksi dan meluruskannya. Semoga bermanfaat.
1) Nadirsyah: Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengusulkan potong tangan ternyata ditangkap KPK, Anggota DPRD DKI akan menegakkan Syariat bila terpilih jadi Gubernur ternyata juga ditangkap KPK.
Jawab: Pak Nadirsyah yang baik, Syariah Islam itu adalah ajaran Allah dan bersumber dari-Nya, tidak identik dengan orang per orang atau oranganisasi, apapun yang dilakukan oleh seorang muslim / organisasi tidak dapat “dijustifikasi” sebagai tabiat syariat Islam, manusia adalah makhluk lemah sementara syariat adalah sempurna dan mulia, ia tidak akan rendah walaupun seluruh manusia mengingkarinya dan tidak akan bertambah mulia walau semua manusia mengimplementasikannya.
(وَقَالَ مُوسَىٰ إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ)
“Musa berkata: Kalau kalian dan semua yang di bumi kafir, maka Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 8)
2) Tokoh Partai Dakwah punya istri muda tidak berjilbab, padahal koar-koar jilbab Syar’i dan anggota partai Islam kawin dengan wanita tidak berjilbab.
Jawab: Dalam Islam, teladan mutlak yang dapat memengaruhi sikap bahkan iman kita adalah: Nabi Muhammad SAW. Seorang ulama, Kyai dan Ustadz bukan teladan mutlak. Sikap mereka bisa diikuti, bisa tidak, yang benar diikuti yang salah diingkari. Karenanya Imam Malik berkata: “Setiap orang bisa diterima dan ditolak ucapannya, kecuali ucapan Nabi SAW.”
Di pesantren-pesantren, Kiyai mengajarkan kita kata-kata Ali bin Abi Thalib ra: “Lihat apa yang diucapkannya jangan lihat orangnya.” dan “Kebenaran harus diterima walaupun keluar dari mulut hewan.” Bahkan kesalahan / kekeliruan para Nabi sekelas Ulul-Azmi sekalipun, tidak melegalkan umat Islam untuk tidak mengikuti syari’at Allah SWT, apalagi hanya seorang pimpinan partai dsb.
Nabi Nuh AS pernah salah dan ditegur oleh Allah, karena mendoakan anaknya yang durhaka, lalu beliau ditegur Allah. Ibrahim pernah membohongi Raja Namruz saat menghancurkan patung, juga raja Mesir untuk menyelamatkan istrinya. Nabi Muhammad SAW juga pernah ditegur Allah karena bermuka masam kepada Ibnu Umi Maktum yang bertanya tentang Islam, apakah semua itu dapat menjadi alasan kita untuk tidak mengikuti risalahnya dan syariat Allah? Tentu tidak! Karena syariat ini tidak diukur dari sikap seseorang atau organisasi, tapi dari Al Qur’an dan As-Sunnah.
Kewajiban Jilbab dan lainnya, bukan syariat pimpinan partai Islam dan anggotanya, tapi kewajiban dari Allah SWT (QS. An-Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59). Pelanggaran syariat secara personal muslim, sangat tidak adil dan tepat bila dinilai sebagai kesalahan syariat dan menjadi alasan untuk tidak menegakkannya.
3) Nadirsyah: Mereka pakai ayat sesuka hati untuk mendukung dan menolak seorang calon pemimpin.
Jawab: Pak Nadirsyah mengritik spekulatif, apakah benar fakta dan data itu? Perlu dipertanyakan, kalaupun benar ada partai Islam mencalonkan wakil bupati atau bupati non muslim, itu adalah masalah ijtihadiyah dan khilafiyah fiqhiyah, tidak bisa dianggap penyelewengan, karena kepemimpinan yang bersifat cabang pemerintahan tertentu, setingkat wakil bupati atau menteri, sebagian ulama membolehkannya, karena ada pemimpin muslim di atasnya, wanita menjadi gubernur menurut sebagian ijtihad boleh, karena bukan pemimpin mutlak dst. Tapi kalau Non Muslim menjadi gubernur yang akan memimpin satu propinsi mayoritas Muslim, ini adalah konsensus bukan khilafiyah, karena ini sudah termasuk menjadi أولياء (Pemegang Urusan, Pemimpin dan Pelindung) dan terdapat puluhan ayat yang melarangnya, bukan pendapat atau egoisme sebuah partai. Antara lain: “Hai orang beriman, jangan kalian jadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, mereka satu sama lainnya bekerjasama, siapa di antara kalian yang menjadikannya sebagai pemimpin, maka dia bagian dari Yahudi dan Nashrani itu.” (QS. Al-Maidah: 51)
4) Nadirsyah: Rakyat lapar dikasih ayat, kumuh, sungai bau kasih ayat. Mereka jadikan masjid tempat ngompol (ngomong politik, red). Kembalikan syariat pada Kiyai.
Jawab: Kita setuju ayat-ayat suci jangan dijadikan pemuas kepentingan pribadi dan dijual murah untuk tujuan kelompok tertentu. Tapi kalau menolak pemimpin kafir berdasarkan ayat-ayat dan pendapat para Sahabat dan Salaf sholeh,maka itu adalah wajib karena hidup umat Islam harus mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Kalau hal-hal kecil, seperti masuk WC, makan, minum, dll., berdasarkan tuntunan ayat dan hadits, apalagi dengan urusan besar umat ini, yaitu politik dan kepemimpinan yang sangat mempengaruhi masa depan umat Islam?
Terbukti, mereka sudah melarang kurban di sekolah, melegalkan khamar (miras, red), judi, zina, merobohkan masjid, menggusur kaum dhuafa yang harusnya mereka lindungi, dsb.
Apakah ini bukan urusan ummat Islam? Apakah ini hanya urusan Kiyai? Sementara Ulama sepakat, bahwa amar makruf nahi mungkar adalah fardhu ain (kewajiban indvidual, red) bagi orang yang mengaku muslim (QS. Ali Imran: 110, Yusuf: 108 dan HR. Bukhari dan Muslim), bukan hanya kewajiban kiyai. Bahkan Allah akan mengazab lebih dulu orang shaleh yang diam, atas kemunkaran di sekitarnya termasuk mereka yang rela dipimpin orang kafir. (HR. Bukhari)
Wallahu A’lam.
H. Khairan Arif, M.Ed., Ph.D.
(Ph.D Arab League Egypt / Dai untuk Eropa dan Korea / Pengurus Pusat Ikatan Dai Indonesia)