Perempuan dan KDRT Selama Pandemi Covid-19

Opini1152 Views

Perempuan dan KDRT Selama Pandemi Covid-19

Oleh: Selviana Teras Widy Rahayu, S.H.,M.H.

 

WHO menetapkan virus corona sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret lalu, dan pemerintah Indonesia membentuk gugus tugas penanganan Covid-19 pada tanggal 13 Maret. Pada pertengahan Maret lalu, setelah kematian pertama akibat virus corona di Indonesia dan ditetapkannya pandemi global oleh WHO, juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto mengatakan pemerintah “harus lebih keras lagi” mengendalikan penularan virus corona di dalam negeri . Presiden Joko Widodo mengeluarkan imbauan  agar seluruh instansi baik negeri maupun swasta menghindari kontak dekat dan kerumunan manusia serta kebijakan untuk beraktivitas produktif di dalam rumah meliputi belajar, bekerja dan beribadah yang bertujuan untuk menekan penyebaran Covid-19. Beberapa instansi pemerintah dan swasta mengeluarkan kebijakan  work from home (WFH) dengan kriteria-kriteria tertentu.  Selain itu banyak perusahaan yang akhirnya memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya akibat pandemi Covid-19.

Ternyata imbauan untuk tetap di rumah saja ini menimbulkan masalah baru dengan meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ,karena dengan adanya PHK dan kondisi ekonomi yang sedang menurun di sektor usaha sehingga sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga , dari situlah dapat memicu emosi  dan berujung dalam KDRT. Perempuan menjadi korban KDRT dan perempuan merupakan kelompok rentan korban Covid-19, di sini para perempuan harus tetap keluar rumah untuk berbelanja, membantu mengerjakan tugas belajar anak yang melalui sistem daring ,mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehingga menguras imunitas tubuh. Padahal perempuan juga yang dapat menekan laju penyebaran Covid-19 dengan selalu menyediakan asupan makanan yang sehat dan menerapkan hidup sehat di dalam keluarganya. Rumahku istanaku berlaku bagi keluarga yang masih bisa menikmati kebersamaan keluarga ,lain cerita bagi perempuan yang mengalami KDRT. Rumah bukan lagi tempat yang bisa memberikan rasa aman dan nyaman akan tetapi rasa traumatis yang timbul dari KDRT tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Komnas Perempuan Siti Aminah, dalam diskusi yang berjudul ‘Fenomena KDRT terhadap Perempuan Selama Covid-19’ yang disiarkan melalui akun YouTube LBH Jakarta, Rabu(22/4/ 2020),yang mengatakan “ Sampai 17 April dari bulan Januari Komnas Perempuan menerima pengaduan (kasus KDRT) melalui email 204 kasus, UPR (Unit Pengaduan untuk Rujukan) ini melalui telefon langsung 268 kasus,surat 62 kasus.”

Baca Juga  Pemurnian Air Sungai Menggunakan Metode Ion Exchange

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 , “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa).” Jika KDRT terjadi dalam rumah tangga maka tujuan dari perkawinan tersebut tidak tercapai, karena tidak terbentuknya situasi rumah tangga yang bahagia justru malah sebaliknya. Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah “ setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,seksual,psikologis,dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”.

Dalam pasal 26 UU KDRT memberikan hak bagi korban untuk melaporkan  secara langsung, atau memberikan kuasa pada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian. Di Indonesia budaya patriaki masih mendominasi. Menurut Alfian Rokhmansyah (2013) di bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriaki berasal dari kata patriarkat, berarti struktural yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal,sentral,dan segala-galanya. Sistem patriaki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi aspek kegiatan manusia. Dari situlah yang membuat banyak perempuan korban KDRT tidak berani melaporkan karena berbagai pertimbangan antara lain: ketergantungan ekonomi terhadap pasangan,takut akan stigma  dari masyarakat kalau tidak bisa menjadi istri yang baik dan bertahan demi anak serta masih banyak pertimbangan lainnya. Pemerintah diharapkan dapat juga memberikan solusi terbaik untuk meredam naiknya kasus KDRT yang disebabkan karena PHK atau krisis finansial lainnya. Untuk membantu korban KDRT lingkungan keluarga,teman-teman dan masyarakat harus mampu memberikan dukungan positif, sehingga kita semua bisa melewati pandemi Covid-19 dalam kondisi yang sehat dan bahagia.***

 

* Penulis adalah Dosen Universitas Pamulang, Tangerang Selatan