POLEMIK PENUNDAAN PEMILU SERENTAK 2024
Ditulis Oleh : Rezky Aradia*
Ketika pelbagai elemen masyarakat tengah berjibaku mempertahankan penyelenggaraan Pemilihan Umum (PEMILU) Serentak Tahun 2024 agar dapat berjalan secara demokratis dan tepat waktu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat malah menghentak publik melalui sebuah putusan yang secara langsung bertentangan dengan konstitusi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku tergugat melalui Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst diperintahkan untuk tidak sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama kurang lebih dua tahun, empat bulan, dan tujuh hari. Artinya, seluruh tahapan Pemilu Serentak 2024 yang telah dilaksanakan dianggap batal oleh putusan tersebut.
Secara langsung, Putusan Pengadilan Negeri Jakrta Pusat tersebut telah bertentangan dengan ketentuan yang terdapat di dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terkait dengan asas penyelenggaraan pemilihan umum dan pelaksanaannya yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Perintah serupa juga terdapat pada pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Konstitusi secara jelas telah memberikan aturan yang jelas agar penyelenggaraan pemilihan umum harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Munculnya pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden merupakan salah satu manifestasi dari tuntutan reformasi agar terdapat aturan yang lebih jelas dan demokratis terkait dengan transisi kekuasaan eksekutif serta legislatif. Pengaturan konstitusional itu tidak terlepas dari upaya untuk mencegah kembali terulangnya kekuasaan absolut seorang penguasa yang pernah terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Namun, nilai salah satu putusan pengadilan yang secara langsung mengkhianati demokrasi dan konstitusi.
Selain melanggar UUD 1945, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) juga tidak memberikan ruang bagi pihak manapun untuk melakukan penundaan penyelenggaraan pemilihan umum. UU Pemilu hanya mengenal Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan ketika terjadi suatu keadaan luar biasa seperti kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan di sebagian atau seluruh wilayah Indonesia.
Namun mekanisme untuk melakukan Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan juga terbilang tidak mudah. Pihak yang diberikan kewenangan untuk melakukan penetapan penundaan pemilihan umum berdasarkan Pasal 433 UU Pemilu adalah KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi. Bahkan ketika pemilihan umum tidak dapat dilaksankan di 40% jumlah provinsi dan 50% dari jumlah pemilihan yang terdaftar secara nsional tidak dapat mengguakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh Presiden atas usul KPU.
Majelis hakim yang menangani perkara tersebut seharusnya memahami bahwa dengan mengeluarkan perintah yang mengakibatkan tertundanya penyelenggaraan Pemilu Serentakn2024, terdapat pengabaian terhadap ketentuan pada UUD 1945 dan UU Pemilu. Tidak mungkin seorang hakim alpa mempertimbangkan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam memutus sebuah perkara di pengadilan negeri.
Menilik lebih jauh Putusan Nomor 757/Pdt,G/2022/PNJkt.Pst, seharusnya tidak terdapat ruang bagi pengadilan untuk memerintahkan pengehentian tahapan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Perkara yang diajukan oleh partai Prima adalah dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU yang mengakibatkan gagalnya partai tersebut menjadi peserta pemilihan umum. Seharusnya, ketika majelis hakim meyakini bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh KPU, maka putusan pengadiln hanya perlu memulihkan hak parai Prima selaku pemohon agar dapat berpartisipasi dalam Pemilu Serentak 2024, tanpa harus memberikan perintah tambahan untuk menunda pemilihan umum hingga tahun 2025.
Selain melawan beberapa pasal di dalam konstitusi dan UU Pemilu, putusan tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan pada Perma No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Kewenangan untuk memutus perkara berhubungan dengan tindakan KPU atas tidak lolosnya Partai Prima seharusnya merupakan wilayah yurisdiksi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Meskipun perkara tersebut berada di dalam ranah PTUN, mustahil akan mendapat perintah untuk melakukan penundaan terhadap Pemilu Serentak 2024.
Pasal 5 ayat (2) perma a quo menegaskan bahwa dalam hal gugatan dikabulakn, Pengadilan dapat mewajibkan kepada pejabat administrasi pemerintahan untuk melakukan tindakan pemerintahan dan menghentikan tindakan pemerintahan. Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat dilihat bahwa Pengadilan Negeri jakarta Pusat telah melampaui kewenagannya dalam memutus perkara terkait dengan sengketa antara Partai Prima dan KPU.
Kita tentu mendorong agar semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam pemilihan umum. Bahkan kita juga harus memberikan dukungan penuh bagi partai-partai politik yang merasa haknya telah dilanggar oleh penyelenggaraan pemilihan umum. Namun tindakan yang mengatasnamakan hukum tetapi secara langsung melawan konstitusi harus segera dibatalkan.
Setelah menyimak pertentangannya dengan beberapa peraturan perundang-undangan, maka sulit untuk menemukan rasionalitas hukum dalam memutus perkara a quo. Apalagi majelis hakim sama sekali tidak menimbang ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945, UU Pemilu, hingga Perma No. 2 KPU untuk menganulir putusan tersebut, namun huru-hara yang ditimbulkan akan tetap berdampak pada tahapan Pemilu Serentak 2024 hingga munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrsai elektoral.***
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang