Ketentuan Penundaan Pemilu di Indonesia

KETENTUAN PENUNDAAN PEMILU DI INDONESIA

Ditulis Oleh : Muhamad Andrai Mamas*

 

Demokrasi dibangun atas prinsip kedaulatan rakyat yang bermakna kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Putusan MK Nomor 61/PUU-XI/2013 pada pokoknya memaknai kedaulatan rakyat sebagai kedudukan rakyat yang secara demokratis berperan dalam memilih pemimpin guna menyelenggarakan pemerintahan demi mengurus dan melayani masyarakat serta memilih perwakilan rakyat guna menjalankan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Di sisi lain, Jimly Asshiddiqie menguraikan bahwa legitimasi konstitusi bersumber pada kedaulatan negara. Hal tersebut berarti ketika suatu negara menjadikan kedaulatan rakyat sebagai paham yang dianut dan diterapkan, maka dasar keabsahan konstitusi negara tersebut bersumber dari rakyat.

Dalam eksistensi negara demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pilar penyangga penyelenggaraan negara. Pemilu menjadi wadah rakyat untuk turut serta berpartisipasi secara aktif dalam penentuan arah kebijakan sehingga mampu mencerminkan prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara. Hal senada juga diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa Pemilu menyiratkan tujuan yang salah satunya ialah berupa upaya untuk menjalankan kedaulatan rakyat melalui lembaga perwakilan. Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahannya sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yakni “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Oleh karena itu, sebagai bentuk implementasi dari prinsip demokrasi tersebut maka Indonesia menyelenggarakan pemilu secara berkala setiap lima tahun sekali.

Pada hakikatnya, pelaksanaan pemilu di Indonesia dilandasi oleh ketentuan dalam UUD 1945. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Dikaji dari rekam jejak pembahasan UUD 1945 atau Naskah Komprehensif dapat disimpulkan bahwa jangka waktu “lima tahun sekali” dianggap penting untuk diatur secara jelas dalam UUD agar terciptanya kepastian hukum dalam pemilu. Kendati demikian, apabila ditelusuri secara seksama, konstitusi sejatinya tidak memberikan ketentuan secara eksplisit yang berkaitan dengan pengecualian terhadap kewajiban pelaksanaan Pemilu secara berkala tersebut dalam suatu situasi dan kondisi tertentu yang dihadapi oleh masyarakat.

 

Apabila dikaji lebih lanjut, ketentuan mengenai kewajiban penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali dapat ditunda berdasarkan beberapa persyaratan legalitas penundaan. Pengaturan terkait hal tersebut dapat ditemui dalam UU Pemilu, yang meskipun tidak secara tekstual merumuskan frasa “penundaan pemilu”, melainkan tetap memiliki pemaknaan yang sama dengan penggunaan istilah berupa “pemilu lanjutan dan pemilu susulan”. Berdasarkan penjelasan Pasal 431 ayat (1) UU Pemilu ditentukan bahwa “Yang dimaksud dengan “Pemilu lanjutan” adalah Pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan”. Sedangkan definisi atas Pemilu susulan dapat ditemukan dalam rumusan penjelasan Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu yang menentukan bahwa “Yang dimaksud dengan “Pemilu susulan” adalah Pemilu untuk melaksanakan semua tahapan Pemilu yang tidak dapat dilaksanakan”.

Pasal 431 ayat (1) UU Pemilu telah menguraikan bahwa “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan; bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan”. Lebih lanjut ketentuan Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan”. Beranjak dari ketentuan- ketentuan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilu lanjutan dan pemilu susulan hanya dapat dilaksanakan apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang dinilai mengakibatkan sebagian maupun keseluruhan tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, pemilu hanya dapat ditunda dan memiliki kekuatan legalitas ketika syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal di atas terpenuhi secara alternatif.

Di samping itu, probabilitas penundaan pemilu juga dimungkinkan berdasar pada ketentuan Pasal 12 UUD 1945 yang mengatur bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Pernyataan tersebut diamini oleh Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman, yang menjelaskan bahwa penundaan Pemilu 2024 memungkinkan untuk didasarkan pada pasal tersebut. Namun, hal yang menjadi persoalan ialah terkait bagaimana interpretasi terhadap rumusan Pasal 12 UUD 1945 tersebut dilaksanakan. Wiratraman kemudian mengungkapkan bahwa interpretasi terhadap “keadaan bahaya” dalam hukum tata negara dibagi dua, yaitu

Baca Juga  Anak Konstitusi yang Inkonstitusional

 

dalam arti yang sesungguhnya seperti berupa bencana, dan dalam arti ketiadaan hukum yang mengatur.

Berkaitan dengan ketentuan penundaan Pemilu, Pasal 433 ayat (2) UU Pemilu lantas menjabarkan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan dilaksanakannya penundaan. Adapun pasal tersebut memuat ketentuan sebagai berikut:

“Penetapan penundaan pelaksanaan pemilu dilakukan oleh:

 

  1. KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kelurahan/desa;
  2. KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau
  3. KPU atas usul KPU provinsi apabila pelaksanaan Pemilu lanjutan atau susulan meliputi satu atau beberapa provinsi”.

Selanjutnya dalam pada pasal 433 ayat (3) UU Pemilu ditentukan bahwa “Dalam hal Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) dan 432 ayat (1) tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah provinsi dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh presiden atas usul KPU”.

Beranjak dari pengaturan a quo, dapat disimpulkan bahwa apabila indikator keabsahan penundaan Pemilu telah terpenuhi maka KPU merupakan Lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan penundaan sebagaimana diatur dalam Pasal 433 ayat (2) sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang dimilikinya. Di sisi lain, apabila pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% dan 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional, maka penetapan pemilu susulan dan pemilu lanjutan tersebut dilakukan oleh presiden atas usul dari KPU.

Merujuk pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, pemilihan umum nasional dan pemilihan kepala daerah tiada lagi dianggap sebagai dua rezim pemilihan yang berbeda dan terpisah. Oleh karena itu, penelusuran terhadap rekam jejak penundaan pemilihan kepala daerah juga secara simultan digolongkan sebagai bagian dari catatan historis penundaan pemilihan dalam konteks “Pemilu” secara keseluruhan. Apabila ditelisik lebih jauh, praktik penundaan Pemilu belakangan telah terjadi pada tahun 2020 melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 179/PL.02- Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 dalam Upaya Pencegahan Penyebaran

 

Covid-19. Dikeluarkannya instrumen yuridis tersebut dilatarbelakangi dengan diterbitkannya Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia dan juga dikeluarkannya Surat Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor S-0235/K.BAWASLU/PM.00.00/3/2020 tanggal 16 Maret 2020 Perihal Antisipasi Dampak Virus Covid-19 terhadap Penyelenggaraan Tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020.

Peraturan tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 (selanjutnya disebut PKPU 5/2020). Diterbitkannya peraturan–peraturan tersebut berimplikasi pada penundaan penyelenggaraan Pemilu yang awalnya dijadwalkan pada 23 September 2020 ditunda menjadi 9 Desember 2020 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8B PKPU 5/2020. Di samping itu, penundaan pemilu juga menyebabkan terjadinya kekosongan jabatan selama penundaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sehingga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengisian kekosongan jabatan dilakukan melalui penunjukkan/pelimpahan jabatan.

Meskipun penundaan pemilu pada praktiknya pernah dilaksanakan, perdebatan mengenai kelayakan penundaan pemilu masih terus bergulir. Terlebih ketika mengingat bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi negara tidaklah memuat aturan yang berkaitan dengan penundaan pemilu. UUD 1945 hanya mengatur pelaksanaan Pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali sehingga penundaan pemilu kerap kali mengarah pada suatu bentuk pelecehan terhadap konstitusi. Dalam hal apabila konstitusi tersebut secara sengaja dilanggar, maka pada akhirnya akan berakibat pada terjadinya krisis intuisi dan akal budi para pemegang birokrasi di negeri ini.***

*Penulis adalah Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Pamulang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *