Kehadiran Golok di Hari Raya Idul Adha
Oleh : Abdul Choliq
Tanpa terasa bulan Dzulhijjah sebentar lagi akan tiba. Dalam bulan ini terdapat hari raya Idul Adha sebagai hari raya umat Islam selain Idul Fitri. Idul Adha selalu disambut dengan istimewa dengan berbagai persiapan, karena pada hari itu terdapat ibadah yang memiliki nilai pahala yang sangat tinggi, yaitu menyembelih hewan kurban. Meskipun kondisi ekonomi sebagian masyarakat belum pulih sepenuhnya sebagai dampak terpaan pandemi covid-19, namun geliat menuju Idul Adha sudah mulai terasa. Hal ini tampak dengan mulai hadirnya kembali para pedagang hewan kurban musiman yang mulai mendirikan lapak-lapak hewan di tepi jalan. Menarik, banyak yang singgah untuk sengaja membeli hewan, namun banyak juga yang sekedar menemani anak-anak yang tampak heran melihat banyak hewan dipajang.
Seiring pemahaman umat islam tentang besarnya nilai pahala melaksanakan kurban, maka dari tahun-ke tahun jumlah hewan yang dikurbankan terus mengalami peningkatan. Merujuk pada data Direktorat Jendral (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan pada Idul Idul Adha 2019 lalu, jumlah hewan kurban diperkirakan mencapai 1.346.712 ekor, terdiri dari 376.487 ekor sapi, 12.958 ekor kerbau, 716.089 ekor kambing, dan 241.178 ekor domba. (https//katadata/11 Agustus 2019). Dalam kondisi normal, jumlah tersebut diprediksi akan meningkat sebanyak 10% setiap tahunnya.
Peningkatan jumlah kebutuhan hewan kurban ini tentu berbanding lurus dengan kebutuhan pisau untuk keperluan penyembelihan. Bukan sesuatu yang aneh, setiap mendekati Idul Adha, maka obrolan seputar pisau/golok sembelih qurban selalu ikut mewarnai perbincangan di lingkungan masjid dan musholla, bahkan tidak sedikit menjadi obrolan selingan di kantor, warung atau saat istirahat setelah olah raga bersama rekan-rekan. Tidak sedikit dari sekedar obrolan itu akhirnya menjadi peluang.
Pisau sembelih yang berkualitas memiliki karakter mata pisau yang tajam, sehingga meringankan pekerjaan penyembelihan. Mata pisau tidak boleh cepat tumpul yang mengharuskannya harus diasah ulang, dan bilah pisau tidak mudah berkarat manakala tidak digunakan. Dalam ilmu metallurgy karakter bilah pisau tersebut diperoleh melalui pemilihan material baja dengan komposisi kimia yang tepat, yaitu baja yang memiliki mampu tempa, mampu bentuk dan mampu keras (hardenabillity) yang baik. Pengrajin golok tradisional biasanya memanfaatkan limbah pegas daun mobil, cakram rem sepeda motor, klaker (bearing), dan baja sling.
Material-material tersebut umumnya memiliki kadar karbon sedang (0,6%C) yang sangat sesuai untuk pembuatan bilah golok. Proses penempaan bilah harus betul-betul memadai agar memberikan efek padat pada bilah dan memberi bentuk yang sesuai untuk jenis pisau sembelih. Tahapan yang sangat penting adalah penyepuhan (hardening) bilah pisau untuk memperoleh struktur martensit untuk meningkatkan nilai kekerasan bilah setidaknya hingga angka 56 pada skala Rockwell C. Pengasahan yang dilakukan pada tahap akhir setelah pembuatan rangka dan gagang mutlak dilakukan untuk menajamkan mata pisau. Semua tahapan tadi tentu memerlukan skill dan pengalaman yang mumpuni dari seorang empu pandai besi.
Banyak alternatif ditawarkan dalam pemilihan pisau sembelih, baik buatan pabrik lokal maupun import. Namun kita ketahui bahwa eksistensi golok sembelih lokal yang dibuat secara tradisional masih memiliki pangsa tersendiri di masyarakat. Jika kita browsing di internet, banyak kita temui toko-toko online yang menawarkan golok sembelih lokal dengan berbagai model dan ukuran, seperti Golok Cibatu, Golok Ciwidey, Golok Ciomas, Golok Rawabelong, Golok Tarisi, Golok Parigi, dll. Alasan konsumen memilih golok lokal sebagai alat sembelih adalah karena harga yang relatif terjangkau dengan kualitas yang cukup baik. Selain itu sentuhan seni yang melekat pada golok lokal menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta benda-benda pusaka dibandingkan pisau-pisau sembelih buatan pabrik.
Golok lokal manakala sudah diberi rangka dan gagang tanduk kerbau atau kayu-kayu berserat indah semisal kayu sonokeling (dalbergia latifolia roxb), kayu johar (senna siamea), kayu timoho (kleinhovia hospita L), kayu jati (tectona grandis) atau kayu rengas (gluta renghas) akan semakin meningkat pamor dan harganya. Maka tidak sedikit kolektor yang berani membayar mahal untuk menambah koleksi goloknya.
Pemanfaatkan limbah baja oleh para pengrajin untuk dijadikan material bilah golok secara tidak langsung telah memberi andil dalam pengelolaan limbah. Pekerjaan memproduksi golok juga membuka lapangan kerja bagi sebagian masyarakat, selain itu juga ikut menjaga warisan budaya lokal yang menjadi kebanggaan. Namun sayangnya, saat ini keberadaan para pengrajin golok sudah mulai sulit ditemui. Banyak yang menganggap pekerjaan sebagai pengrajin besi sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan, sehingga banyak yang kurang berminat untuk menekuninya.
Hal inilah yang menjadikan golok-golok tradisional harus semakin berani dalam berkompetisi di tengah serbuan pisau-pisau sembelih produksi pabrik. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa golok sembelih bukanlah piranti yang digunakan dalam aktifitas harian, kecuali di Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Golok-golok ini hanya hadir di Hari Raya Idul Adha, selebihnya hanya jadi pajangan atau diam nyaman di tempat penyimpanan. Golok akan diingat dan dibutuhkan kembali saat menjelang kurban yang bersifat musiman, sebagaimana para pedagang hewan kurban yang membuka lapak-lapak hewannya menunggu datangnya musim kurban, menunggu datangnya Idul Adha yang hanya setahun sekali.***
*Penulis Adalah Dosen Teknik Mesin Universitas Pamulang