TangselMedia – Umat Islam yang dikoordinir Forum Umat Islam (FUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI akan kembali berunjuk rasa dalam aksi Bela Islam 212 dan diperkirakan jutaan orang akan turun ke jalan.
Unjuk rasa tersebut, rencananya akan dipusatkan di Gedung DPR/MPR RI di Jakarta, pada Selasa 21 Februari 2017 dengan tuntutan: stop kriminalisasi ulama, stop penangkapan aktivis mahasiswa, meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) segera dipenjara karena kasus dugaan penistaan agama, dan dicopot dari jabatannya karena berstatus terdakwa.
Menurut Pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap, aksi Bela Islam 212 Selasa depan merupakan bentuk partisipasi politik masyarakat, khususnya umat islam untuk menuntut agar pemerintah atau rezim berkuasa Jokowi-JK memenuhi tuntutan mereka selama ini dalam mencari keadilan.
“Aksi ini tentu saja tak terlepas dari dinamika politik umat Islam yang menuntut Ahok si penista agama dipenjarakan dan diadili”, kata Muchtar ketika dihubungi TangselMedia, Sabtu 18 Februari 2017.
Menurut Muchtar, aksi 212 mendatang di Gedung DPR sangat strategis, karena aksi ini telah mengakui DPR sebagai komponen penting yang bisa bersinergi untuk memperjuangkan tuntutan dan kepentingan umat Islam.
Di samping itu, rencana aksi sudah berkembang tidak lagi isu Ahok menista agama dan menolak pemimpin kafir, tetapi sudah menyangkut prilaku otoritarian dan polisional rezim kekuasaan atas kriminalisasi ulama serta penangkapan aktivis mahasiswa beberapa hari lalu.
“Jadi isu kriminalisasi dan penangkapan ini sungguh menjadi unik pada rencana aksi Selasa depan, karena bukannya kualitas aksi semakin menurun tetapi meningkat. Pilihan tempat aksi di gedung DPR karena massa aksi ingin melibatkan lembaga-lembaga negara untuk menekan dan memperjuangkan tuntutan mereka”, jelasnya.
Muchtar menambahkan, kualitas aksi juga bisa membawa dampak politik terhadap eksistensi rezim, jika rezim tidak kelola dan menyikapi aksi ini secara kompromistis. Dinamika politik nasional kedepannya akan lebih panas, jika rezim tetap saja mengabaikan tuntutan aksi.
“Bisa jadi, jumlah peserta aksi sebanyak Aksi Bela Islam 411 dan 212 lalu, tetapi kualitas dan militanisme para pemimpin aksi kian meningkat. Sepertinya mereka sudah memperkirakan risiko terbesar, yakni dituduh makar atau melanggar UU ITE, lalu dijadikan tersangka secara hukum”, pungkasnya. (HJD)