TangselMedia – Banyak anak Indonesia berusia sekolah tetapi lemah secara fisik maupun kecerdasan. Namun, ‘’menolak, mengabaikan, mengasingkan atau mengeliminasi anak yang lemah, berarti kita telah dengan sengaja menepis uluran tangan Tuhan untuk merangkul kita dalam pangkuan-Nya yang berselimutkan rahmat, kebahagiaan, dan kedamaian abadi.’’
Demikian dituturkan Dosen Universitas Pamulang (Unpam) Teguh Yuwono, kepada kepala sekolah dan guru SMPN 153 Kebayoran Lama Jakarta Selatan, 14 Februari 2018.
Bukan, acara itu bukan peringatan Valentine’s Day. Bersama sembilan rekan dosen Unpam yakni Hengki Hermawan, Surasni, Achmad Sumali, Angga Rovita, Renny Anggraini, Lucia Maduningtias, Ida Farida, Muhammad Yudha, Abu Bakar, dan 5 mahasiswa Unpam (Ananda Vikardo, Amanda Gea, Fitria Ayuninda, Andre Viqi, dan Hasan Nuripno), Teguh bersedekah ilmu kepada pendidik sekolah menengah itu dengan menyajikan tema ’Menjadi Guru Yang Mulia’.
Mengutip buku ‘Kurikulum Kehidupan’ karya Zulfikri Anas, Teguh Yuwono menyampaikan bahwa sejatinya ruang kerja guru bukanlah di kelas-kelas, melainkan di pikiran dan hatinya.
Selanjutnya motivator yang kerap berbagi spirit ke sejumlah komunitas tersebut memaparkan pentingnya mendidik dengan benar. ‘’Karena sekolah adalah miniatur kehidupan masyarakat masa depan. Segala yang dialami anak semasa sekolah akan dimunculkan nanti setelah ia dewasa. Jika ia mengalami perlakuan diskriminatif waktu sekolah, ia akan diskriminatif juga setelah dewasa. Ini berbahaya, apalagi ia menduduki jabatan penting yang berhubungan dengan pelayanan publik,’’ papar Teguh.
Kemuliaan seorang guru, imbuhnya, bukan terletak pada banyaknya anak didik yang mencium tangannya. Melainkan pada pengorbanan dan integritasnya sebagai guru untuk selalu ‘digugu dan ditiru’.
Maka, Teguh melanjutkan, tugas guru bukanlah menciptakan produk, namun pengaruh positif pada siswanya agar jadi anak cerdas secara utuh. Mampu berkreasi dan memecahkan masalahnya sendiri.
‘’Karena itu, pendidikan tidak boleh berhenti hanya pada pencapaian intelektualitas yang tinggi (IQ), namun juga mencerdaskan emosi (EQ) dan spiritual (SQ),’’ tandasnya.
Ia mencontohkan, siswa SMP yang nilai rapotnya 9 semua, namun tiap pagi teriak-teriak: “Maa, sepatuku mana? Maa, lihat pensilku nggak? Maa, bikinin susu dong!’’ adalah anak intelek namun belum beradab. IQ-nya tinggi, tetapi EQ dan SQ-nya masih rendah.
Teguh Yuwono mengingatkan, dalam pendidikan di sekolah maupun rumah, anak sering hanya dihadapkan pada 2 kata: perintah dan larangan. Padahal, anak didik juga manusia yang butuh apresiasi, motivasi, dan tidak ingin dipermalukan (ditegur atau dihukum) di depan umum.
‘’Di sinilah peran serta guru dalam mendidik sangat penting. Ibaratnya, kalau hanya untuk kebutuhan setahun saja, maka cukuplah kita menanam padi, jagung, atau palawija. Namun untuk kebutuhan ratusan bahkan ribuan tahun bahkan setelah meninggal, maka tanamlah ilmu dan amal,’’ Teguh memotivasi.
Pemaparan diakhiri dengan tanya jawab dan pembagian hadiah berupa buku-buku motivasi buat para guru SMP Negeri 153 yang dikepalai M Zainul Diney. Untuk lebih mendalami materi, para guru kemudian berbagi dalam beberapa kelompok diskusi. Masing-masing didampingi dosen Unpam. Teguh Yuwono menjelaskan, kegiatan sedekah ilmu ini merupakan bagian dari Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM).
‘’PKM merupakan salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat. PKM wajib bagi Unpam, terlebih universitas ini memiliki 80.000-an mahasiswa,’’ terangnya.
Sangat inspiratif