Memudarnya Konsumsi Simbolik Selama Pandemi Covid-19

Memudarnya Konsumsi Simbolik Selama Pandemi Covid 19

 

Sulfi Purnamasari, S.Sos., M.M.*

 

Dalam era globalisasi konsumsi bukan hanya dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan hidup semata, akan tetapi lebih kepada bagaimana seseorang dapat menunjukkan eksistensi dirinya atau kelompoknya atau di kalangan generasi muda dikenal dengan istilah “tetap eksis”. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Weber seorang sosiolog yang mengatakan bahwa konsumsi terhadap suatu barang merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok sosial tertentu.

Gencarnya pengaruh budaya asing dan konsumerisme yang mendunia menjadi salah satu penyebab mewabahnya konsumsi simbolik di tengah masyarakat kita terutama di kota besar seperti Jakarta. Media massa dalam hal ini baik cetak maupun elektronik turut andil dalam membudayakan konsumsi simbolik. Kehidupan artis yang mewah dan glamour yang dipertontonkan kepada publik melalui facebook, instagram dan sebagainya secara tidak sadar diikuti dan menjadi tren di tengah masyarakat mulai dari gaya berpakaian, gaya rambut, dan sisi kehidupan lainnya yang sarat dengan konsumsi simbolik. Mal yang tersebar hampir di seluruh pelosok Jakarta dipenuhi dengan warga masyarakat yang ingin memenuhi hasrat konsumsi simboliknya sebagai bagian dari gaya hidup kota besar. Bahkan mereka rela merogoh kocek untuk membayar secangkir kopi dengan harga yang fantastis untuk menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu. Belum lagi kebiasaan membeli gadget dengan model terbaru dan sedang “in” yang tidak akan pernah habisnya agar tidak dianggap ketinggalan zaman.

Pola hidup konsumtif telah menjadi budaya yang mewabah terutama di kalangan generasi muda, bahkan menjangkiti mereka yang bukan dari kalangan menengah ke atas. Dengan kondisi ekonomi terbatas beberapa orang mencoba untuk masuk dalam kelompok status pada level di atasnya. Tentu hal ini menjadi fenomena yang cukup memprihatinkan.

Demikian pula kemacetan yang menjadi permasalahan terutama di Jakarta disebabkan oleh banyak faktor dimana terus meningkatnya konsumsi kendaraan pribadi terutama kendaraan roda empat ditengarai menjadi penyebab utama masalah kemacetan masih belum dapat teratasi. Pemakaian mobil pribadi bukan hanya karena kebutuhan transportasi untuk aktivitas sehari-hari, namun lebih kepada prestise dan pengakuan yang diharapkan dari lingkungan di sekitarnya. Bahwa seseorang dianggap sukses dan mapan ketika orang tersebut mampu membeli barang yang menjadi simbol kemapanan tersebut seperti contohnya mobil pribadi. Pengakuan tersebut muncul dari sikap masyarakat yang lebih hormat terhadap mereka yang menggunakan mobil pribadi. Memang cukup mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah pengakuan, ketika seseorang dari penghasilan yang diterima setiap bulannya sebenarnya belum mampu untuk membiayai kebutuhan pokok sekaligus konsumsi simbolik.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya dengan perbaikan prasarana transportasi massal, namun tidak menggugah kesadaran warga masyarakat untuk mengurangi konsumsi mobil pribadi. Dengan berbagai alasan tidak menggunakan transportasi massal yang pada intinya adalah tuntutan gaya hidup telah membuat konsumsi mobil pribadi tidak juga berkurang dari hari ke hari.

Akan tetapi pandemi covid 19 yang sudah berlangsung beberapa waktu telah merubah itu semua. Selama berlangsungnya pandemi konsumsi simbolik di tengah masyarakat terlihat berkurang secara signifikan. Jalanan di Jakarta yang biasanya dipenuhi oleh mobil-mobil mewah selama berlangsungnya pandemi terlihat sangat lengang. Kemacetan berkurang dengan sendirinya. Demikian pula mal dan pusat perbelanjaan yang biasanya dipenuhi oleh kelompok sosial tertentu kali ini sepi dari pengunjung.Ada beberapa faktor memudarnya konsumsi simbolik di tengah pandemi covid 19.

Baca Juga  New Normal : Belajar-Mengajar Di Tengah COVID-19

Pertama, kondisi ekonomi yang terus berkontraksi selama pandemi berlangsung telah “memaksa” warga masyarakat untuk lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok dari penghasilan yang diterimanya. Terlebih lagi mereka yang bekerja di suatu perusahaan yang terdampak covid 19 mengalami pengurangan jam kerja sekaligus penghasilan yang diterimanya sehingga mereka harus merubah pola konsumsi yang sudah ada. Belum lagi mereka yang terkena dampak PHK karena perusahaan tempat bekerjanya mengalami kerugian yang cukup besar selama pandemi berlangsung.

Kedua, kebijakan Work From Home dan Study From Home secara otomatis mengurangi kebutuhan penggunaan kendaraan pribadi roda empat. Sebagian besar aktivitas yang biasanya dilakukan di luar rumah berpindah di dalam rumah sehingga mengurangi penggunaan mobil pribadi.

Ketiga, banyaknya pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan yang tutup untuk mengantisipasi penyebaran wabah covid 19 telah mengurangi konsumsi simbolik masyarakat. Warga Jakarta yang biasa menghabiskan akhir pekan dengan hang out ke tempat-tempat hiburan sebagai tempat menghilangkan kejenuhan setelah bekerja selama sepekan selama pandemi berlangsung memilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga di rumah. Bahkan tempat-tempat makan yang masih diperbolehkan buka terlihat sepi dibandingkan biasanya dan sebagian besar hanya didatangi oleh pengemudi layanan pengantaran makanan secara online.

Keempat, dengan diberlakukannya kebijakan PSBB dimana kendaraan hanya boleh digunakan dengan kapasitas maksimal 50% dari biasanya telah mengurangi penggunaan mobil pribadi dan lebih memilih untuk tetap di rumah, kecuali untuk keperluan yang mendesak dan sangat penting.

Kelima, fokus perhatian masyarakat lebih disibukkan untuk menjaga kesehatan diri dan keluarganya dan sedapat mungkin melakukan berbagai upaya pencegahan terhadap virus covid 19 yang menakutkan dan membahayakan. Sebagian besar warga masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah dan lingkungannya sehingga tidak terpikirkan untuk mengonsumsi barang simbolik.

Keenam, hari raya lebaran yang biasanya menjadi ajang konsumsi simbolik pada tahun ini terlihat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena berlangsung pada saat pandemi. Himbauan untuk merayakan lebaran di rumah telah mengurangi konsumsi masyarakat secara nyata. Lebaran yang biasanya ditandai dengan baju, tas, dan sepatu branded kali ini tidak terlihat. Masyarakat lebih memilih untuk berlebaran di rumah dan menghindari keramaian sehingga tidak membutuhkan barang-barang simbolik untuk digunakan ketika bertemu teman dan kerabat.

Menurunnya konsumsi tentu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional. Tetapi tentu selalu ada hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi nasional yang terus menurun Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa pandemi covid 19 ini hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak khususnya warga masyarakat bahwa konsumsi simbolik selama ini telah menjadi kebiasaan yang seakan sulit untuk dikurangi apalagi dihentikan. Konsumsi simbolik yang telah membudaya di tengah masyarakat mengindikasikan begitu kuatnya pengaruh globalisasi dan amerikanisasi.

Namun, berbagai kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran covid 19  seakan menjadi momen berharga bagi masyarakat untuk belajar mengurangi konsumsi simbolik, terlebih lagi kita semua sedang berada pada situasi ekonomi yang kurang menguntungkan. Alangkah lebih bijaksana ketika seseorang memiliki kelebihan dari penghasilan yang diterimanya digunakan untuk sesuatu yang produktif dan menghasilkan. Kita semua berharap konsumsi simbolik ini tidak hanya memudar selama pandemi covid 19 berlangsung dan kita dapat menyongsong babak baru kehidupan ekonomi yang lebih baik lagi.***

 

*Penulis Adalah Dosen Prodi Pendidikan Ekonomi Universitas Pamulang